Setahun yang lalu,
Rasanya masih enggak nyangka kalau tadi Langit mengantarnya pulang ke rumah. Untuk dalam lingkup orang-orang yang satu sekolah dengannya, Langit adalah orang kedua yang tahu alamatnya berada setelah Alga.
Narima merasa senang, karena masih ada orang baik di sekelilingnya.
Saat Narima memikirkan itu, tiba-tiba Ayahnya berjalan keluar dari kamar dengan buru-buru.
"Loh Ayah mau ke mana?" tanya Narima seraya meletakkan piring berisikan sebungkus nasi goreng di atas meja.
"Gue buru-buru. Ada urusan."
"Tapi ini nasi gorengnya gimana?"
"Lo makan aja dah, gue enggak punya banyak waktu."
Gelagat Ayahnya sangat membuat Narima bertanya-tanya hal apa yang sangat penting hingga Ayahnya tidak mau meluangkan sedikit waktu untuk menyantap makanannya. Hingga kepergiannya secara mendadak, benar-benar membuat Narima merasa sedih. Akhirnya dia sendiri lagi.
"Kalau ada Ibu, pasti rumah ini enggak akan sepi."
***
Alga dan ketiga temannya, Ralaska, Aksara, dan Jeano sedang mampir di kafe milik Bundanya Langit. Mereka memang sering kumpul di sana, jika ada waktu. Hari ini mereka ingin membahas soal Lenoux, yang secara tiba-tiba menantang balapan Alga. Sepertinya mereka masih tidak bisa menerima kekalahan tempo lalu.
"Tantangan ini enggak usah lo terima, Ga." Langit yang datang ke meja teman-temannya langsung membuat mereka semua menoleh padanya.
"Lah, bukannya malah bagus ya Lang. Biar sekalian aja kita kasih tuh anak Lenoux pelajaran," ucap Ralaska. "Biar mereka makin malu untuk kedua kalinya. Padahal mah kita udah bodo amat sama tuh geng bekicot, tapi masih aja gangguin."
"Gue larang, karena kesehatan Alga lebih penting." Langit berucap serius.
Alga menatap bingung kepada temannya itu, kenapa tiba-tiba suara Langit jadi dingin?
"Santai aja Lang, gue masih sehat-sehat aja gini," kata Alga merangkul pundak Langit dan menyengir.
"Ingat, lo enggak boleh kecapekan. Secepat mungkin kita cari ketua yang baru buat gantiin posisi lo. Karena juga sebentar lagi kita kelas duabelas, dan fokus-fokusnya belajar."
Alga tersenyum, dan menepuk pundak Langit. "Gue tunggu kandidatnya dari rekomendasi yang lo punya."
Langit mengangguk. "Oke."
"Hem, oh iya. Gue mau cerita dong," ujar Ralaska membuat yang lainnya menatap padanya.
"Apa?" Aksara bertanya serius.
Ralaska menarik napas dalam-dalam, hingga merubah suasana menjadi tegang dan penuh keseriusan.
"Si Kancut, akhirnya menemukan jati dirinya!" ungkap Ralaska, bereaksi yang berlebihan.
"Si Kancut?" ulang Jeano agak syok.
Aksara langsung elus dada dengan melebarkan senyuman yang agak terpaksa. Kemudian memberikan pitingan pada leher Ralaska. "Gue kira apaan, setelah gue ingat-ingat. Itu nama kucing lo!"
Yang lainnya langsung mengembuskan napas kasar.
"Kenapa sih harus namanya dikasih itu?" Jeano menggelengkan kepalanya lalu meminum kopi.
"Karena nama itu adalah awal di mana dia gue temuin!"
"Gue inget!" ucap Aksara. "Dia ke rumah lo pas enggak sengaja bawa celana daleman lo yang lagi dijemur kan?"