14. The Day Before Christmas

729 79 13
                                    

⭐️ Jangan lupa Vote & Komennya kakak 💬
♡♡♡
♡♡

.
.
.

Setelah beberapa hari kembali ke Bangkok, aku pergi bersama Naomi untuk berbelanja pernak-pernik Natal yang akan tiba satu minggu lagi. Usai mendapatkan barang-barang yang diinginkan, kami singgah ke sebuah restoran untuk makan siang.

"Sudah lama kita tidak bertemu, agaknya pekerjaanmu begitu menguras waktu." Aku mengawali percakapan sambil mengunyah makananku.

"Hmm, ada banyak kasus kematian tidak wajar bekalangan ini, membuatku benar-benar hampir tidak memiliki waktu istirahat."

"Apa masih kasus yang sama seperti sebelumnya?"

"Kasusnya beragam Wen, kemarin seorang pria paruh baya tewas karena bunuh diri dengan menenggak racun, dua hari sebelumnya seorang siswi SMA melompat dari gedung sekolah, dan masih ada beberapa lagi. Sepertinya belakangan ini banyak sekali masyarakat yang mengalami masalah berat, sehingga lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya."

"Bagaimana dengan kasus pembunuhan berantai tempo hari?"

"Ada satu korban lain yang kami temukan sekitar tiga minggu yang lalu dan pelaku masih sama sekali tidak meninggalkan jejak dalam aksinya. Itu artinya, sampai saat ini pelaku masih berkeliaran bebas di luar sana."

"Lalu, apa yang dicari pasukan khusus yang diturunkan jika sampai saat ini pelakunya saja tidak diketahui? Bukankah hanya akan membuang waktu dan energi? Selain itu, anggaran yang digunakan pasti tidak sedikit."

"Semuanya memang harus dilakukan sesuai prosedur, Wen. Pelakunya bukan orang sembarangan, bahkan hingga kini aku masih tidak bisa memastikan benda tumpul seperti apa yang menyebabkan kematian para korban. Apakah memang benar sebuah benda atau justru tangan kosong."

"Jika benar pelaku menghantam korban dengan tangan kosong sampai menyebabkan kematian, itu artinya pelaku memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi. Dia mungkin seorang petarung."

Naomi meletakkan peralatan makannya, dia menopang dagunya dengan satu tangan dan menatap ruang kosong di sebelahku beberapa saat. Setelah mendengar perkataanku barusan, sepertinya dia memikirkan sesuatu.

"Kau benar. Wen, apa selama di gelanggang ada petarung yang mungkin bisa dikaitkan dengan kasus ini? Kau cukup memberitahuku lewat sudut pandangmu, karena kau yang lebih banyak berinteraksi dengan mereka. Gunakan intuisimu, kira-kira apa ada dari mereka yang mencurigakan?"

"Apa saat ini kau sedang mencoba menginterogasiku?" Aku menaikkan sebelah alisku dengan kesal.

"Tidak. Anggap saja saat ini kita sedang berdiskusi, lupakan profesiku dan siapa-siapa orang di sekitarku."

"Hmm ... kalau melihat dari sudut pandangku, rasanya sangat mustahil jika si pelaku merupakan salah satu petarung yang pernah datang ke gelanggang. Selama ini, kebanyakan dari mereka adalah petarung yang payah, aku juga tidak yakin ada yang sejenius itu diantara mereka."

Aku menggaruk daguku dan kembali mengingat-ingat semua petarung yang pernah ku temui, dan aku bisa menilai hanya dari gaya bertarungnya bahwa mereka adalah para pria yang cuma mengandalkan otot dan kekuatan ketika bertarung. Mungkin diantara semuanya, Billy lah satu-satunya petarung yang masih menggunakan taktik dan strategi yang baik, tapi mana mungkin dia menjadi pelaku pembunuhan.

Aku mengenalnya dengan baik, kami bertemu lebih dari sepuluh tahun. Waktu itu aku masih duduk di kelas 10 SMA, dia membantuku bersembunyi dari kejaran satpam sekolah saat coba membolos. Dia pria pengangguran yang terpaksa harus keluar dari panti asuhan setelah lulus sekolah dan sedang mencoba mencari pekerjaan.

VODKA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang