Dia lebih dari sekedar baik karena itu dia tidak pernah tergantikan.
-Mahendra Vega-~••~
Chicago, United States.
Box putih dengan isi buku bersampul coklat juga kamera milik Jonathan sudah tergeletak diatas meja ruang tengah. Selena kembali membaca bait demi bait yang Jonathan tuliskan, juga kadang tersenyum tipis saat melihat hasil bidikan pria itu, sempurna.
"Bukunya dibawa aja, Kak?"
Mahendra yang sedang menyeduh dua gelas teh berseru melihat Selena fokus dengan buku di genggamannya. Jelas sekali ada rindu di kedua matanya.
"Jangan, Auri sengaja ninggalin buku ini disini biar gak ada yang lupa kalau Chicago pernah jadi tempat dia pulang. Biar kalau ada yang kangen sama dia kita bisa kesini, ketempat dimana Auri bikin kenangan tentang dirinya sendiri."
Mahendra tidak menjawab apapun, dia lantas duduk disebelah Selena sambil membawa dua gelas teh hangat. Mahendra sempat melirik buku yang Selena pegang, sebuah halaman dengan potret Hara Syafira yang sedang duduk di depan sebuah coffee shop dan di samping foto itu ada sebuah foto sekumpulan gedung bertingkat berlatarkan langit yang menguning. Juga sebuah tulisan tangan dibawahnya.
Ayah pernah bilang kalau hidup cuma sekali, mati cuma sekali, menikah cuma sekali, itu berarti jatuh cinta juga cuma sekali.
Buku ini seperti buku keramat untuk beberapa orang, tidak banyak yang dituliskan tapi maknanya sangat dalam untuk mereka.
"Kalimat ini pernah Auri bilang waktu di nikahannya Laluna."
Mahendra menoleh, dirinya juga pernah mendengar kalimat ini sebelumnya. Saat untuk pertama kalinya Mahendra bilang kalau mungkin dia menyukai Aruna.
"Katanya suka itu belum tentu cinta tapi kalau cinta udah pasti suka, jadi kita perlu tau perasaan apa yang kita punya sebelum ambil keputusan."
"Abang juga pernah ngomong gitu waktu aku bilang suka sama Aruna."
Selena terkekeh mendengarnya, sebenarnya Jonathan pernah menceritakan itu padanya. Dan betapa jengkelnya pria itu melihat adiknya yang masih kelimpungan dengan Aruna padahal sudah jelas-jelas dia tidak bisa kehilangan Renika.
"Aku mau tanya deh, kamu suka sama Renika dari kapan?"
Mahendra terdiam, mencoba mengingat-ingat kapan tepatnya dia menyukai teman adiknya itu. Tapi jawabannya tidak bisa dirinya temukan, tali menuju jawaban itu seakan kusut dan tidak bisa Mahendra uraikan.
"Aku bingung kalau ditanya kapan tepatnya, soalnya gak inget."
"Kalau kamu bingung itu berarti cinta, Baby Lion. Karena cara kerja cinta emang bikin bingung, kita gak tau kapan, dimana, bahkan alasan apa yang bisa bikin kita jatuh cinta sama seseorang."
Mahendra terdiam lantas ikut memandangi halaman buku dihadapan Selena, apa benar jatuh cinta hanya sekali? Lalu jika Mahendra benar mencintai Renika apakah dirinya tidak pernah mencintai Aruna?
"Kamu kenal Renika dari kapan?"
"Dari Bintang kelas satu, waktu mereka ada kerja kelompok di semester dua."
"Cerita dong! Kayaknya seru tuh kenalannya lewat Bintang."
Mahendra terkekeh, bukan seru tapi kacau. Bintang memang sangat banyak tingkah dan menyebalkan sedari dulu.
"Kenalannya gak sengaja, Kak. Karena kebetulan mereka kerja kelompok di Langit Cafe dan aku lagi cek pembukuan juga disana."
"Iya makanya cerita!"
"Aku gak tau persisnya mereka ngapain waktu itu, tapi aku inget banget Bintang gak sengaja numpahin minuman dibajunya Aca. Kayak yang kita tahu kalau selama ini Bintang banyak banget tingkahnya jadi niatnya mau pamer bikin jus malah bikin emosi."
"Terus?"
"Aku pinjemin jaket, tapi abis itu mereka gak jadi kerja kelompok soalnya Aca marah-marah."
"Lagian kalau di terusin bisa masuk angin juga sih, terus itu jadinya kamu kenalannya gimana?"
"Aku yang anterin dia pulang. Habis kejadian itu aku sering chatting sama dia, ngobrolin banyak hal dan berlanjut terus sampai akhirnya aku jadian sama Aruna."
"Wah, brengsek banget sih. Masa deketnya sama Renika tapi jadian sama Aruna? Kalau aku jadi Renika udah aku tonjok muka nyebelinmu habis itu aku blok semua sosmedmu!"
Selena menggebu-gebu mendengarnya, wajahnya tampak merah padam terlihat sekali ingin memukul Mahendra kuat-kuat. Tapi yang Mahendra lihat justru keberadaan Bintang, Bintang yang marah-marah, Bintang yang sering memaki dirinya, Bintang yang banyak tingkah, Bintang yang tidak bisa diam dan sering merengek, Bintang yang apa adanya, Bintang si bungsu kesayangannya.
"Bintang juga sering ngomong gitu, Kak. Brengsek."
Mahendra menghembuskan napasnya, menyeruput teh hangat miliknya dan memejamkan mata. Rindunya tidak bisa ditekan, Bintang hilang kabar dan memusuhi dirinya.
"Penyakit adik sama kakak mirip-mirip ternyata, kalau kangen Bintang bukannya di telpon malah dibuat pusing. Mau kakak telponin Bintang aja?"
Mahendra menggeleng, Bintang masih belum membuka blokiran semua media sosialnya itu tandanya adiknya masih marah padanya. Biarkan saja dulu, Mahendra yang akan langsung minta maaf jika sudah sampai di Jakarta.
"Gak perlu, Kak. Tunggu sampai kita sampai Jakarta aja, biar aku sekalian jelasin hal yang memang pengen dia dengar."
"Okey, kita move ke pertanyaan yang pengen banget aku tanyain dari lama. Kamu beneran sayang sama Renika atau cuma penasaran dan berujung obsesi?"
Mahendra menoleh ke arah Selena dengan kerutan bingung, obsesi? Apakah perasaannya ini disebut obsesi oleh banyak orang? Dirinya hanya mencintai Renika, apa itu sebuah kesalahan?
"Karena dari yang aku dengar kamu gak mau dia pergi tapi kamu terus-terusan nyakitin dia."
"Apa itu disebut obsesi?"
"Apalagi namanya? Kamu pengen dia terus ada sama kamu tapi kamunya gak bisa ngehargain keberadaan dia dan hubungan kalian, kamu cuma mau dia ada karena takut kesepian aja apa gimana?"
Mahendra terdiam, dirinya merasa de javu dengan kalimat itu. Renika pernah mengatakan itu padanya dihari gadis itu meminta mengakhiri hubungan mereka, hari yang sama dengan keberangkatan gadis itu ke New York.
"Dalam setiap hubungan pasti ada yang berkorban, Baby Lion. Renika berkorban demi kenyamanan kamu dengan menggadaikan kenyamanannya sendiri, sementara ada orang lain yang berkorban demi kebahagiaan Renika dengan menggadaikan kebahagiaannya sendiri."
"Nathan?"
"Kamu tau jawabannya, dia berkorban biar bisa lihat Renika bahagia tapi kenapa justru kamu sakitin? Harusnya sebelum kamu nyakitin dia kamu juga mikir kalau dia juga berharga buat kehidupan orang lain meskipun enggak di hidupmu."
"Kak, dia berharga buat aku."
"Dan kamu sadarnya ketika dia pergi? Memang beberapa hal kelihatan sangat berharga kalau udah bukan milik kita," Mahendra terdiam mendengarnya.
"Sekarang aku punya pertanyaan yang sama, kapan kamu suka sama Aruna?"
"Waktu pertengahan kelas dua."
"See? Kamu inget kapan kamu suka sama Aruna tapi kamu bingung soal Renika. Perasaan kamu kuat sama Renika bahkan dari awal, Baby Lion. Gimana bisa kamu gak sadar kalau sedari awal Renika punya tempat yang gak bisa dijajah sama siapapun bahkan Aruna? Hal klasik kayak tempat yang kamu suka aja dia tau sedangkan Aruna yang katanya sahabat kamu itu tau apa?"
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars || Mark Lee
Fanfiction//Sequel Ripple// [Rumah Untukmu Pulang] Mencintaimu sepadan dengan semua rasa sakit ini jadi biarkan aku tetap memeluknya erat sampai hari dimana aku tidak bisa lagi menggenggam harapan. "Mari kembali jatuh cinta dan melakukannya dengan benar di la...