Seandainya aku adalah kamu, apa yang akan kamu lakukan?
-Renika Catra-~••~
"Kali ini berantem masalah apa lagi?"
Renika menuangkan wine untuk Rosetta, rutinitas saat mereka sedang berdua sembari saling bercerita tentang masalah masing-masing. Sekarang sudah tengah malam dan dengan seenak jidat Rosetta datang ke apartemennya untuk membuat keributan.
"Bintang nyuruh gue ikut dia ke Jepang."
"What's the problem?"
"Gue gak mau."
"Tumben?"
"Lo tahu sendiri Gabriel mau tunangan sama Kak Aru dan Kak Kate lagi ada program kemanusiaan di Lombok gue harus nemenin Kak Aru dong?"
"Tapi Bintang tetep maksa lo ke Jepang?"
"Iya! Sebel banget."
Renika terkekeh sambil meneguk wine dalam gelasnya, kisah cinta yang tidak berubah dari dua orang yang sama-sama keras kepala.
"Dia gak mau pisah-pisah sama lo."
"Ya tapi isi dunia gue gak dia doang."
"Tapi dunia Bintang isinya cuma lo."
Rosetta memandang Renika datar seolah tidak setuju saat sahabat perempuannya ini memihak kekasihnya.
"Lo gak inget berapa kali kalian hampir putus? Berapa ratus kali kalian berantem bahkan diantaranya soal masalah yang cukup serius? Dari banyaknya perdebatan itu aja udah kelihatan segimana besar Bintang cinta sama lo. Mungkin emang bukan cuma dia isi dunia lo tapi buat Bintang lo adalah pusat dunianya, Jepang punya rekam jejak negatif buat dia jadi harusnya lo gak kabur-kaburan kayak gini dan ngobrol buat selesaiin masalah kalian."
Rosetta terdiam memandang kosong pemandangan malam kota Jakarta. Mencoba dengan seksama mendengarkan sahabatnya.
"Acaranya masih dua minggu lagi, gak mungkin Bintang gak mikirin itu apalagi dia tau lo sama Kak Aru deket banget."
"Jadi maksudnya gue harus ikut dia ke Jepang? Asli gue males banget, Ren."
"Gue gak nyuruh lo ikut dia ke Jepang tapi bicarain baik-baik dulu, jangan asal ngambek terus kabur ke apartemen gue, hp juga lo matiin bikin Bintang panik tujuh keliling."
"Gue beneran gak bisa ke Jepang, Ren, terlalu banyak sakitnya disana."
"Menurut lo Bintang gak kesakitan kalau balik kesana? Dia ke Jepang juga karena urusan pekerjaan, Rosetta Adelia. Ini gak akan lama tapi Bintang butuh lo buat nguatin dia, dia butuh raga lo ada disamping dia biar dia lega karena meskipun dia balik lagi ke Jepang lo gak akan ninggalin dia."
Rosetta terdiam menatap manik mata Renika, matanya memanas dan Renika yakin sebentar lagi air mata gadis itu akan luruh.
"Kedepan! Bintang udah nungguin lo disana, dari pada kalian salah paham mending lo samperin."
"Sejak kapan?"
"Sejak gue ngamuk-ngamuk karena lo hampir mecahin mangkok di dapur. Lagian heran banget pelampiasan kesel kok cuci piring, gak sekalian lo ngepel sama bersih-bersih apartemen gue?"
"Hih!" Rosetta memukul punggung sahabatnya kesal, tidak keras tapi sudah mampu membuat Renika meringis pelan.
"Udah sana!"
Rosetta mengangguk sambil melangkah meninggalkan Renika, dirinya menguatkan tekat untuk bertemu Bintang. Kali ini adalah salahnya yang tidak bersikap dewasa, semoga Bintang tidak memperlakukannya seperti benda transparan setelah ini.
"Ren, gue baru inget mau ngomongin ini sama lo. Masalah lo sama Bang Mahen enam tahun lalu alasannya masih sama, kan? Salah paham. Harusnya kalian juga ngobrol biar gak ada salah paham, kan?"
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Renika dan Rosetta sendiri memang tidak menunggu jawaban dari bibir sahabatnya. Setelahnya Rosetta benar-benar hilang dibalik pintu apartemen meninggalkan Renika seorang diri.
Renika terdiam sambil kembali meminum wine ditangannya, tersenyum tipis sambil memandang kosong gelas milik Rosetta diatas meja.
"Bukan, enam tahun lalu gue putus sama dia karena capek. Gue capek terus berdiri di harapan gue sendiri, gue capek jadi pihak yang paling berharap sama hubungan ini dan dia nggak, gue sangat capek dan sampai di titik muak ketemu sama dia, sangat muak. Meskipun akhirnya setelah sampai disana yang gue rasakan bukan reda justru malah tambah sakit."
Renika mengingat dengan jelas bagaimana Jonathan menelponnya pukul dua dini hari untuk menanyakan masalah hubungannya dengan Mahendra, bahkan Renika tahu kebenaran dari kabar itu sebelum meminta putus dengan Mahendra. Tapi keputusannya menuju New York memang sudah bulat, dirinya ingin meninggalkan semua hal mengenai Mahendra kala itu, rasa sakit yang awalnya hanya satu goresan pelan-pelan berubah menjadi luka bernanah yang tidak bisa sembuh dan membuatnya frustasi sendiri.
"Kalau Bang Jona gak pernah telpon gue dan kasih tau semuanya gak mungkin tiga tahun lalu gue nerima dia di apartemen gue, gue gak mungkin kasih dia tempat untuk ngobrol sama gue waktu itu. Karena pasti gue berpikir negatif dan gak akan percaya sama semua omongannya dia."
Ini hal yang paling menjengkelkan, Renika kira dia sudah berdamai dengan perasaannya dan melupakan Mahendra. Tapi kenyataannya saat pria itu berdiri menjulang dihadapannya seketika tembok yang Renika bangun susah payah roboh tak tersisa, hancur dan bahkan tidak berbekas. Rasanya kembali seperti saat pertama kali Renika jatuh cinta pada pria itu, rasa cintanya masih sama seperti sebelumnya. Tidak berubah barang seincipun.
"Lima tahun di New York bikin gue paham kalau ternyata emang gak guna banget gue berusaha move on tapi sebenarnya gue masih stuck di dia, percuma gue berusaha pacaran sama Nathan kalau akhirnya gue justru nyari sosok dia di Nathan, percuma gue berusaha sibuk kalo pikiran gue waktu sendiri pun juga masih tetep dia. Kesimpulan yang di dapat adalah sia-sia gue berusaha sekuat itu."
Renika menghembuskan napasnya kesal, kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa otak dan hati jarang sekali sejalan? Bagaimana cara membuat hati paham kalau kita butuh orang yang juga mencintai kita dengan tulus?
"Kalau dia sampai datang ke pertunangan El gue gak akan tau reaksi apa yang harus gue tunjukkan, gue gak akan tau harus senang atau sedih ngelihat dia lagi. Jujur masih dia orangnya, tapi kalau untuk sama-sama dia lagi gue belum sanggup. Luka yang dia kasih karena Kak Aruna masih sangat sakit kalau diinget meskipun udah enam tahun berlalu. Dan alasan gue gak pernah tanya siapa orang yang ada di hatinya adalah gue gak pernah sanggup denger kalau orang itu bukan gue, gue takut bukan nama gue yang disebut, gue takut sisa kepingan yang gue punya ikutan hancur lebur karena jawaban itu."
Meskipun akhirnya harus tenggelam dengan pikiran rancunya sendiri Renika lebih memilih menyakiti dirinya, dia selalu takut mendengar kebenaran. Selalu takut jika ternyata dia tidak pernah ada. Meskipun dia harus mendengar kabar pernikahan Mahendra setelah ini Renika tidak akan pernah menanyakan masalah itu. Biarkan saja begini agar setidaknya dia bisa berharap kalau mereka pernah membekas kuat dimasa lalu, mereka pernah menjadi hal penting untuk Mahendra.
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars || Mark Lee
Fanfic//Sequel Ripple// [Rumah Untukmu Pulang] Mencintaimu sepadan dengan semua rasa sakit ini jadi biarkan aku tetap memeluknya erat sampai hari dimana aku tidak bisa lagi menggenggam harapan. "Mari kembali jatuh cinta dan melakukannya dengan benar di la...