3# I Can Still Feel You

62 5 4
                                    

Setelah enam tahun bahkan sekecil genggaman masih terasa begitu nyata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah enam tahun bahkan sekecil genggaman masih terasa begitu nyata.
-Mahendra Vega-

~••~

Chicago, United States.

Unit 189, apartemen lama Jonathan. Tidak pernah Mahendra sangka jika pada akhirnya apartemen ini adalah ruang melarikan diri untuknya juga. Masalah di Chicago dua tahun lalu bukan masalah besar seperti alasan kakaknya pergi dan menetap disini sampai tiga tahun, tapi setidaknya cukup untuknya mengulik beberapa jawaban tentang berbagai pertanyaan.

Dulu, dalam keadaan paling runyam sekalipun dirinya akan punya bahu Jonathan untuk bersandar, dia masih punya telinga kakaknya untuk bercerita, dia masih bisa melihat senyum kakaknya untuk meyakinkan diri jika semuanya akan berakhir baik-baik saja. Tapi pertahanannya hancur saat tiga tahun lalu kabar duka masuk ke telinganya bahkan saat dia baru menginjakkan kaki di Indonesia.

Kepulan asap rokok dari balkon kamarnya adalah hal biasa, apartemen ini memiliki dua kamar dan dia tidak akan mengotori kamar Jonathan dengan kepulan asap juga alkohol. Pria itu membencinya, sangat.

"Apa lo sekarang balik jadi peminum, Ta? I think no, lo masih punya Rosetta disana," dirinya terkekeh miris.

Alasan kenapa Mahendra membulatkan tekat pergi dari Indonesia adalah karena kabar pertunangan Renika dan Nathaniel yang sampai ketelinganya dua tahun lalu. Dia berbohong saat mengatakan akan datang ke pernikahan gadis itu, dia bohong saat mengatakan akan berdiri paling depan untuk melihat pernikahan gadis yang dirinya cintai. Dia tidak sanggup melihat jika orang yang akan bersama dengan gadis itu bukanlah dirinya, tidak akan pernah sanggup.

"Gue masih jadi pecundang bodoh disini dan mungkin kalian udah punya satu anak disana."

Setelah kabar itu terdengar olehnya Mahendra memutuskan akses dengan para sahabatnya kecuali Erlang. Dia belum bisa mendengar kabar apapun tentang Renika dan Nathaniel. Dan setidaknya Erlang tidak akan menyinggung tentang itu. Dia perlu waktu untuk menerima hal itu, sama halnya dirinya perlu waktu karena kehilangan kakaknya.

Halaman demi halaman dari buku yang Jonathan tinggalkan selalu menjadi temannya, Mahendra butuh berhari-hari untuk memahami maksudnya. Kalimatnya memang sederhana tapi dari kalimat sederhana ini Jonathan punya banyak sekali maksud. Seperti sebuah halaman dengan foto Hara Syafira diatasnya.

Jika menjadi yang paling ikhlas sangat sulit maka aku akan menjadi yang paling sabar.

Mahendra paham situasi dibalik foto ini. Kala itu, Jonathan sedang dalam masa mencoba jadi pihak yang paling lapang setelah mendengar kabar tentang pernikahan Hara. Apa itu berarti Mahendra harus mencoba jadi pihak yang paling sabar juga? Apa Mahendra bisa sekuat itu melihat orang yang paling dirinya inginkan didekap sahabatnya sendiri? Situasi ini menjengkelkan.

Dirinya kembali memaki keadaan, memaki dirinya sendiri, dan setiap tindakan bodohnya. Lantas pandangnya jatuh pada figura besar lukisan orang yang dirinya cintai. Lukisan yang Mahendra pesan dari Erlang dua tahun lalu, sebelum kabar pertunangan itu menyerangnya.

"Aca, apa kamu udah bahagia? Apa rasa bencimu sama aku sebegitu besarnya sampai-sampai kamu lebih milih dia?"

Kalimat itu terus berulang dalam dua tahun terakhir tapi tidak pernah ada jawaban karena Mahendra tidak pernah menanyakannya langsung pada Renika. Rasa sesaknya menggerogoti dada dan hal yang paling dirinya benci adalah untuk sekedar menemui Renika dirinya tidak seberani itu.

"Harusnya waktu itu aku datang lebih cepat kan, Ca?"

Tiga tahun lalu saat ulang tahun gadis kesayangannya Mahendra terlambat, harusnya dirinya datang dan menghentikan Nathaniel menyatakan perasaannya pada Renika. Tapi kalau dipikir kembali dirinya akan terlalu jahat jika melakukan itu. Nathan sudah menyukai Renika jauh sebelum Mahendra ada, bahkan lelaki itu sempat memberinya ruang dan dengan bodohnya Mahendra mengacaukan semuanya.

Hari sudah beranjak semakin larut dan Mahendra memutuskan mengguyur badannya sebelum semakin kacau. Besok pagi dirinya ada rapat dengan para investor jadi Mahendra harus tampil sesempurna mungkin.

Air dingin mengguyur kepalanya tapi rasanya justru mendidih, dalam gelap yang dirinya lihat justru tawa Renika yang lebar bersanding dengan Nathaniel. Bayangan tentang mereka yang bisa bahagia dan Mahendra yang masih terjebak dalam kubangan masa lalu adalah hal yang menyakitkan. Dirinya juga ingin pergi dari rasa sakit ini tapi tidak bisa, tidak bisa jika harus sendirian apalagi ditemani wanita yang bukan lagi Renika.

Acara mandi yang harusnya selesai dengan cepat justru berakhir lebih lama. Hawa dingin menyeruak masuk karena Mahendra lupa menutup jendela, dalam keadaan seperti ini pikirannya kembali jatuh pada masa lalu. Saat dimana keadaan masih lebih baik dari hari ini, saat gadis itu masih menjadi miliknya.

Malam yang sunyi di pukul tiga pagi yang dingin akan selalu menjadi waktu paling sakral untuk mereka habiskan dengan banyak cerita. Banyak berbagi mengenai kecemasan tentang masa depan, nilai yang turun, ujian dadakan, kompetisi, perseteruan kecil, dan masih banyak lagi. Masa putih abu-abu yang tidak akan bisa diulang kembali.

"Padahal dulu aku pikir jam tiga pagi akan selalu jadi alasan kita lebih kenal satu sama lain, aku kira jam tiga pagi akan jadi waktu paling sakral dalam hubungan kita, aku kira jam tiga pagi yang dingin suatu saat akan jadi hangat karena pelukan kita berdua."

Banyak hal yang Mahendra pikirkan sejak dulu, dirinya bahkan pernah memikirkan akan memakai jasa wedding organizer yang mana untuk acara pernikahannya dengan Renika. Dirinya pernah berharap sejauh itu tentang mereka, dirinya memikirkan semuanya bahkan model gaun pengantin seperti apa yang cocok untuk gadis kesayangannya. Masa dimana dirinya masih terlalu muda untuk berpikir kalau hubungan mereka bisa saja selesai begitu saja.

"Aku belum sembuh, Ca, aku masih kesakitan. Aku masih terus berharap kalau aku ada disana, di hatimu, di pikiranmu, di tempat paling istimewa di hidupmu. Tapi aku gak mau terus egois, aku juga mau kamu bahagia, tapi aku gimana? Gimana aku setelah ini?"

Di masa lalu dirinya adalah orang paling egois dengan tidak membiarkan Renika pergi dari sisinya tapi yang dia lakukan hanya terus menyakiti gadis itu. Setiap hal yang ada pada Renika masih terekam jelas dalam ingatannya, entah rengkuhannya, tawanya, senyuman, atau sekedar wajah cemberut yang selalu menggemaskan untuknya. Renika masih menjadi tokoh favoritnya, muse semua lagu yang dirinya ciptakan sampai hari ini.

Hari-hari yang Mahendra lalui di Chicago adalah hanya untuk bertahan hidup, dia seolah mati bersama dengan kabar dimana harapannya mulai patah. Dirinya ragu dengan keyakinannya sendiri dan berakhir menjadi pengecut tanpa tau kelanjutan dari kabar itu.

Siapa yang menyangka jika Mahendra bertindak impulsif waktu itu? Siapa yang mengira jika tanpa persiapan dirinya akan terbang ke Chicago? Bintang sudah sempat melarangnya berkali-kali tapi Mahendra terlalu keras kepala untuk diberi tahu.

Pada akhirnya hubungannya dengan Bintang juga merenggang, bahkan mereka lost contact sekarang. Mahendra yang keras kepala dan Bintang yang merasa kecewa. Ini adalah tahap paling rumit dari hubungan kakak beradik itu.

"Tunggu sebentar lagi Bintang, Abang masih belum siap untuk pulang sekarang."

Pada akhirnya kalimat maaf hanya mampu Mahendra lambungkan pada gelapnya malam, entah adik bungsunya sudah memaafkannya atau tidak, tapi yang pasti Mahendra masih perlu sedikit waktu lagi.

To be continue...

Scars || Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang