3. Painful Past

1.1K 115 6
                                    


"Kakak Lin! Ayo main bola, Upan punya bola baru dari Ayah!" Taufan dengan semangat menghampiri Halilintar dikamarnya, sibuk dengan buku-buku bertempuk dimeja belajarnya.

Halilintar mengabaikan adiknya, lebih memilih fokus pada rumus dihadapannya. Minggu depan dia akan menghadapi ujian kelulusan, dan Halilintar ingin sekali bisa masuk sekolah menengah atas impiannya.

"Kakak ayo!" Taufan menarik lengan kanan Halilintar.

"Ck! Pergi sana jangan ganggu! " tepis Halilintar ketus.

"Kak Hali Upan bosan, pengin main sama kak Hali, kita kan nggak pernah main bareng! Sekali aja, Upan pengin main sama kak Hali" pinta bocah itu merengek.

Halilintar menatap Taufan malas. "Kamu nggak liat aku lagi apa? Stop ngerengek terus pergi dari sini! Aku nggak mau main sama kamu!" dia meninggikan nada bicaranya, Taufan menciut.

"Kenapa kakak nggak mau main sama Upan? Upan seru kok kalo diajak main. Upan kan pengin main sama kakak!" Taufan kembali menarik lengan Halilintar.

Halilintar menepis tangan Taufan dengan kasar. "Aku nggak mau! Jadi stop ganggu aku!" kesalnya mulai terpancing emosi bangkit dan menatap tajam Taufan.

Mata Taufan mulai berkaca-kaca, Halilintar benci itu. "Kenapa sih kak Hali nggak mau setiap Upan ajak kakak main? Upan juga pengin main sama kakak Upan kaya temen-temen! Upan salah apa?"

Menarik sudut bibirnya Halilintar berdecih. "Salah kamu apa? Salah kamu itu karena udah lahir dan rebut nyawa Bunda! Dasar anak cacat! Kamu pembawa sial! " bentak Halilintar kalap tak dapat menahan emosinya lagi.

"Halilintar!" serempak keduanya menoleh mendapati Ayah di depan pintu, Halilintar terkejut menatap Amato.

"Ayah?"

"Taufan kamu masuk ke kamar ya?" Taufan mengusap air matanya lantas mengangguk meninggalkan kakak dan Ayahnya.

"Bicara apa kamu ini? Kamu sadar apa yang kamu ucapin itu?!"

"Kenapa? Hali bener kan, Yah? Bunda meninggal karena Taufan! Ayah mau belain anak cacat itu lagi? Terserah, belain aja terus biar makin ngelunjak!"

"Hali, Ayah nggak pernah ngajarin kamu bersikap seperti sama orang tua!" bentak Amato.

"Harusnya kamu sadar, Bunda itu sudah bahagia di sana! Nggak seharusnya kamu selalu ngungkit masalah ini dan lampiasin ke Taufan! Dia itu masih kecil, itu semua bukan kesalahannya!"

"tapi gara-gara dia Bunda meninggal! Hali benci sama Taufan! Hali benci!"

"HALILINTAR!"

Mati-matian Halilintar menahan bulir air matanya agar tak jatuh. "KENAPA AYAH SELALU BELAIN TAUFAN? KENAPA AYAH NGGAK NGERTIIN HALI?! Hali masih butuh Bunda" lirih nya di akhr kalimat menunduk, dia meneteskan air matanya.

"Hali masih pengin Bunda nemenin Hali sampai Hali sukses nanti" lanjutnya, Amato mendekat lalu memeluk putra sulungnya memberinya kekuatan.

"Maafin Ayah," Amato tidak bisa marah terlalu lama dengan anaknya dia merasa bersalah telah membentak Halilintar tadi. "Kita semua kehilangan Bunda, bukan hanya Hali. Jadi Hali harus iklas."

Sedangkan Taufan, memeluk bolanya erat ikut terisak. Tadinya Taufan ingin ke kamar, melepaskan alat bantu dengar seperti biasa agar tak perlu menangis saat mendengar Ayah dan kakaknya bertengkar karena dirinya.

Little Dream (Taufan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang