Halilintar berjalan seorang diri di pinggiran jalan dengan langkah berat, kepalanya terus menunduk kearah bawah bahkan topi yang dia kenakan menutupi sebagian wajah kecuali dagu dan mulutnya.
Hawa dingin dari angin sepoi menusuk kulit dia abaikan, cuaca mendung dengan awan hitam pekat dan sesekali terdengar suara guntur dari atas sana.
Perlahan rintikan air mulai turun sedikit demi sedikit namun tak membuat pemuda itu sedikit pun berniat mencari tempat teduh sebelum hujan deras benar-benar mengguyur tubuhnya.
Tak selang beberapa saat sesuai dugaan hujan benar-benar turun deras menumpahkan segala beban air yang sudah tak sanggup lagi ditampung oleh awan.
Beberapa orang mungkin akan menganggapnya aneh karena terus menerobos hujan dengan langkah santai disaat orang lain mati-matian menghindarinya, namun Halilintar tidak perduli.
Dia mengingat percakapan dengan Fang beberapa saat lalu yang membuatnya kembali tertampar oleh fakta menyakitkan.
"Ini." alis Halilintar terangkat ketika Fang menyerahkan sebuah dokumen padanya.
"Apa?"
"Baca." jawab Fang, Halilintar mendengus namun tak menolak, dia mengikuti apa yang pemuda landak itu katakan.
Halilintar mengambil dokumen tersebut lantas membacanya dengan seksama, beberapa detik setelah membaca raut wajahnya berubah. "Maksud lo apa?" katanya melempar pelan kertas itu ke meja. "Nggak lucu!"
Hatinya tiba-tiba saja berdenyut nyeri setelah membaca apa yang tertulis di lembaran kertas itu. Pikirannya tak karuan membayangkan kejadian dimasa lalu namun segera dia tepis. Apa Halilintar memang salah paham, dia yang salah selama ini.
"Gue nggak bercanda." balas Fang melipat kedua tangan didada.
"Lo pikir gue bakalan percaya? Nggak!" tukas Halilintar enggan percaya.
"Gue nggak maksa lo buat percaya, tapi gimana pun lo nolak emang gitu faktanya." ucapnya.
Halilintar menggeleng. "Nggak mungkin, lo pasti bohong."
"Buat apa gue bohong? Gue ngomong sesuai kenyataannya."
Lagi-lagi Halilintar menggelengkan kepalanya tak percaya. "Nyokap gue sehat selama ini! Dia nggak punya riwayat penyakit apapun, berhenti bohong dan bikin rekayasa palsu!" serunya.
Kangker darah? Lucu sekali, Halilintar yakin Bunda nya selama ini sehat.
"Buat apa gue lakuin itu? Lo harus terima kenyataannya kalo nyokap lo meninggal karena sakit keras, bukan karena Taufan! Selama ini lo salah paham!"
Halilintar membuang muka, masih enggan percaya dengan kenyataan tiba-tiba ini.
"Lo nggak tahu apapun berhenti omong kosong!"
"Gue? Lo yang nggak tahu apapun disini!"
"Tau darimana lo semua ini? Jangan ngarang!"
"Taufan."
Dahi Halilintar menggelombang membuat kerutan nampak disana. "Taufan?"
Fang mengangguk, Halilintar makin dibuat bingung.
"Nyokap lo...." Fang menjeda sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dream (Taufan)
Teen FictionEND (REVISI) "Maaf kak."-Taufan "Kalo maaf lo bisa ngembaliin Bunda sama Ayah gue maafin."-Halilintar