Halilintar memilih membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur sahabatnya, memejamkan matanya melepas penat. Sedangkan pemiliknya tengah sibuk berhadapan dengan laptop dimeja kerjanya, mengabaikan tamu tak diundang yang tiba-tiba sudah di depan rumahnya.
"Ngapain lo kesini?"
"Gue nginep ya?"
"Kenapa?" Fang menoleh sejenak lalu kembali fokus lagi.
"Nggak suka lo?" Halilintar malah balik bertanya.
Fang mendengus dan menggeleng. "Bukan gitu, kasihan nanti adik lo sendirian dirumah, kalo dia kenapa-napa gimana?"
"Nggak perduli, dia udah gede." balasnya acuh.
Fang memutar kursinya menatap Halilintar. "Lin, gue pikir ini tuh saatnya lo itu perbaiki hubungan kalian." katanya, namun Halilintar tak merespon.
Alasan mengapa Fang kembali membahas masalah ini tentu saja karena keadaan Taufan.
"Memangnya sampai kapan lo bakalan terus bersikap kaya gini? Sampai kiamat? Biar gimana pun juga kan Taufan adik kandung lo, kalian lahir di rahim yang sama. Kalian kakak-adik, kalian pasti saling membutuhkan satu sama lain."
Ah, Fang sebenarnya sudah mulai bosan untuk menasehati temannya yang keras kepala dan memiliki ego tinggi ini, dia rela berbicara panjang lebar namun tak pernah menyadarkan pemuda beriris ruby itu.
Sebanyak apapun Fang memberi tahu pemuda itu, Halilintar tidak akan pernah mendengarkannya.
Halilintar mendengus. "Lo juga mau sampai sih terus ngomongin hal ini?" nadanya terdengar tak bersahabat.
Lihat kan? Halilintar itu memang batunya melebihi batu.
"Lin, gue ngomong ini supaya lo nantinya nggak bakalan nyesel."
"Apanya sih? Apa yang bakal gue sesali emang?! Udah banyak hal yang gue sesali, apa lagi yang emang harus gue sesali nantinya?!" Halilintar bangkit merubah posisi menjadi duduk menatap Fang.
"Lo tuh nggak tahu ya, Taufan itu⏤"
Fang terdiam tak melanjutkan kalimat ketika teringat sesuatu, mulutnya ingin sekali mengatakan kebenaran. Dia sungguh ingin tahu bagaimana akan reaksi Halilintar jika mendengar keadaan Taufan.
"Kak, jangan kasih tahu kak Hali tentang ini, janji ya?"
Sial, sekarang apa yang dia lakukan. Taufan membuatnya merasa bingung, kenapa juga dia terlibat janji dengan bocah itu.
"Apa? Taufan itu apa?"
"Terserah lo deh, males gue ngomong sama lo. Dasar batu! Pulang sana!" usirnya, dia kembali memutar kursi untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Lo berbicara seolah lo tahu segalanya." ketus Halilintar.
*****
Senyum itu melelahkan.
Taufan serius mengatakan itu, sungguh.
Sudut bibirnya terasa pegal dipaksa harus senyum saat melayani pelanggan hari ini. Bukan main, hari ini kedai tok Aba benar-benar sangat ramai, Taufan harus kesana kemari mencatat pesanan mereka, membantu sang majikan membuat pesanan lalu mengantarkannya.
Taufan bahkan sedikit heran dengan majikan yang tetap tenang walau pelanggan membludak seramai ini, sedangkan Taufan ribut sendiri kesana kemari dengan memasang senyuman selebar mungkin.
Akhirnya setelah beberapa jam penuh kesibukan, Taufan bisa menghela napas lega. Dia memijit sejenak kepalanya yang terasa pusing, Taufan lupa membawa obat seperti yang disarankan dokter kemarin agar meminum obat sehari tiga kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dream (Taufan)
Teen FictionEND (REVISI) "Maaf kak."-Taufan "Kalo maaf lo bisa ngembaliin Bunda sama Ayah gue maafin."-Halilintar