16. Fear of Losing

1.1K 110 16
                                    

Padahal aku berniat bikin cerita ini cuma sampe 11 atau 12 part lho, kok bablas sih :v


Happy Reading!


*****

Tuhan itu memang pandai membolak-balikan hati manusia ya.

Halilintar yang dulu sangat membenci Taufan, bahkan berharap anak itu segera lenyap dari hidupnya. Namun kini Halilintar menjadi orang yang paling takut melihat adiknya itu berada diambang kematian.

Bagaimana mungkin Halilintar yang dulunya membenci Taufan sekarang merasa sangat takut kehilangan anak itu.

Halilintar hanya tidak ingin kembali ditinggal oleh orang yang dia sayangi. Itu sangat mengerikan, sungguh! Dia tak ingin ditinggal sendirian, hanya Taufan yang Halilintar punya untuk sekarang dan dia tak ingin kehilangan lagi.

"Sel kangker yang ada ditubuhnya itu menyebar dengan sangat cepat dari dugaan, salah satu penyebabnya bisa karena tubuh yang terlalu lelah. Itulah mengapa dari awal saya sarankan untuk segera melakukan tindakan untuk mencegah sel kangker itu agar tidak cepat menyebar ke seluruh tubuh."

"Tak ada banyak hal yang bisa kita lakukan jika kangker sudah memasuki stadium akhir, apalagi setelah saya periksa lebih dalam ternyata pasien juga mempunyai riwayat penyakit TBC."

Tak ada satu kata pun yang keluar dari Halilintar, dia hanya diam dan mencerna penjelasan dari Dokter yang menangani adiknya.

Pernyataan yang sangat menohok perasaan Halilintar.

Taufan sakit, sangat sakit. Halilintar harus bagaimana? Bolehkan Halilintar protes pada sang maha pencipta?

Mengapa harus Taufan? Mengapa tidak dia saja? Bukankah Halilintar terlalu banyak dosa, dia pantas menerima hukuman atas segala perbuatannya dan bukannnya Taufan.

Taufan sudah terlalu banyak menderita sejak lahir kan, tolong anak itu juga pantas untuk bahagia.

Sekali lagi, harusnya Halilintar yang sakit untuk menebus segala dosanya.

Netra merah ruby nya menatap sesosok pemuda terbaring di ranjang pesakitan tak berdaya lewat sebuah kaca dari luar, kondisi Taufan belum stabil hingga tidak bisa langsung dijenguk bahkan oleh keluarga, dokter hanya memperbolehkan menjenguk Taufan melalui kaca besar.

Tubuh mungil adiknya dipenuhi alat-alat rumah sakit yang menempel, mata biru shapire yang Halilintar sukai terpejam erat seolah tak ingin kembali terbuka.

Halilintar takut, takut setiap mendengar bunyi monitor diruangan itu. Dia hanya takut garis yang terlihat dilayar itu berubah....

Taufan pasti akan sembuh, kan?

Sudah terhitung sekitar satu minggu yang lalu sejak Halilintar menjumpai adiknya itu terbatuk-batuk didapur dengan rintihan penuh kesakitan namun anak itu masih belum juga menunjukan tanda-tanda akan kembali membuka netranya.

Alam mimpi mungkin jauh lebih indah ya? Halilintar harap Taufan tidak lupa untuuk kembali bangun.

"Cepet bangun dek, kakak kangen," katanya lirih.

"Taufan nggak akan suka liat keadaan lo sekarang," Halilintar tak sedikit pun mengalihkan atensi, tatapannya tetap lurus pada sang adik.

Dengusan pelan terdengar, antara kesal dan kasihan menjadi satu melihat keadaan temannya yang satu ini. Halilintar tampak lebih kacau dari sebelumnya, wajah ppucat dengan kantung hitam besar dibawah kelopak mata yang lembab, pemuda itu bahkan tidak mau makan jika tidak dipaksa olehnya, tidak tidur dengan alasan menunggu Taufan sadar.

Iya, Fang tahu Halilintar pasti sangat khawatir dengan keadaan Taufan, tapi bukan berarti pemuda itu akan terus menyiksa dirinya sendiri.

"Taufan bakalan baik-baik aja, sekarang mending lo istirahat dulu aja. Biar gue yang jagain adek lo, kalo Taufan udah sadar gue bakal langsung kasih kabar ke lo" kata Fang menyakinkan.

Pemuda itu menggeleng tak setuju dengan saran Fang. Halilintar hanya ingin saat Taufan terbangun Halilintar adalah orang yang pertama adiknya lihat, dia ingin anak itu tahu bahwa Halilintar sangat menanti hadirnya, menunggunya kembali.

Fang mengusap rambutnya kebelakang, cukup sabar dia menghadapi sikap keras kepala Halillintar sejak dulu. "Pikirin diri lo juga! Jangan cari penyakit deh, kalo lo juga ikutan sakit siapa yang bakalan jaga Taufan nanti!"

Kepala Halilintar menunduk lalu kembali terangkat, kini pandangannya tertuju pada Fang. "Taufan... nggak bakalan ikut ninggalin gue kan Fang, kaya Ayah sama Bunda?"

"Gue takut."

*****

Taufan tak tahu berapa lama dia memejamkan matanya, saat terbangun Taufan bisa langsung menebak dirinya berada dimana. Tak perlu penjelasan dari siapapun, bau obat yang langsung menyengat indra penciuman saja sudah sangat menjelaskan.

Nerta biru itu bergerak kesana-kemari, Taufan sendirian. Lagi-lagi dia hanya berharap akan ada orang yang menunggunya bangun, menjaganya bahkan sampai tertidur dengan posisi duduk disamping ranjangnya, itu hanya ada didalam film, oke.

Harusnya Taufan tidak sampai berharap selebay itu.

Hingga pandangannya tak sengaja bertemu dengan pemilik nerta merah ruby, ada sebuah perasaan hangat saat melihat Halilintar ternyata menjaga, walau hanya dari jauh dan terhalang sebuah kaca.

Taufan bisa melihat kedua tangan Halilintar terangkat ke udara, membentuk sebuah bahasa isyarat. Bahasa yang sudah lama tidak Taufan gunakan sejak Ayah meninggal, karena dulu hanya sang Ayah yang bisa berbicara dengan bahasa isyarat padanya.

"Berjuang sedikit lagi, tolong. Kakak akan selalu disini."

Kalimat itu yang Taufan tangkap dari Halilintar, entah dari mana Halilintar mempelajari bahasa isyarat yang jelas Taufan sedikit tersentuh saat membacanya.

"Jangan ikut Bunda, jangan dengerin Bunda."

Dadanya kembali terasa sesak secara tiba-tiba, Taufan merintih hendak mengeluarkan suaranya namun tenggorokannya terasa tersedak sesuatu hingga terbatuk beberapa kali dan sulit untuk bernapas.

Dia berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-paru, rasanya alat oksigen yang menempel pada mulutnya tidak bekerja sama sekali sehingga mau tak mau Taufan harus berusaha sendiri untuk tetap bernapas.

Pandangan Taufan teralih saat pintu ruangannya terbuka dan beberapa orang bergegas masuk menghampirinya, Taufan tak bisa mendengar apa yang mereka katakan lalu melirik sang kakak yang terlihat panik dari kaca itu, sebelum pada akhinya Taufan menyerah. Dia membiarkan gelap mengambil alih.

*****

Part ini sedikit. 

Cuma mau bilang, paling tinggal beberapa part lagi.


Little Dream (Taufan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang