HAPPY READING!
===
Saat itu adalah hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru, bocah yang sudah genap menginjak umur 6 tahun itu sangat antusias dan bersemangat dihari pertamanya. Yaps, tahun ini dirinya akan mulai bersekolah, sang ayah sudah mendaftarkan dirinya disekolah yang sama dengan sang kakak.
Sejak pukul lima pagi anak itu sudah bangun, mandi dan bersiap memakai seragam barunya. Taufan tak bisa menyembunyikan rasa senangnya saat mulai memakai seragam merah-putih seperti yang dipakai Halilintar.
Taufan melangkah ringan dengan senyuman lebarnya menelusuri sekolah bersama sang Ayah yang menggandeng tangannya. Masih banyak para murid yang berkeliaran karena bel masuk yang belum berbunyi.
Saat tiba didepan salah satu ruang kelas Amato menghentikan langkahnya, begitupun dengan Taufan.
Amato berjongkok berhadapan dengan sang putra, merapikan dasi anak itu yang nampak miring dan merapikan rambutnya. "Upan udah besar sekarang, nanti jangan nakal disekolah ya?" anak itu mengangguk patuh.
"Upan janji nggak akan nakal, Ayah" jawabnya.
"Belajar yang bener, dengerin dan nurut sama kata Ibu guru juga, oke?"
"Oke!"
"Bagus, anak Ayah pinter!" Amato mengusap puncak kepala putranya lembut. "Ayo masuk!"
Setelahnya Amato kembali berdiri dan menuntun Taufan masuk keruang kelasnya.
Taufan tak bisa untuk tidak semangat melihat banyak anak seumuran dengannya disini, sekarang dia akan mempunyai banyak teman baru. Begitulah pikirnya.
Taufan akan bermain bersama teman-temanya sekarang.
Hari pertama Taufan sekolah berjalan sangat baik, guru yang sangat baik padanya dan teman yang sangat menyenangkan. Taufan yang memang pandai berbicara dan cepat berinteraksi dengan teman-temannya membuat suasana dalam kelas tak ada rasa canggung bahkan dalam waktu singkat Taufan sudah mempunyai banyak kawan baru.
Namun semuanya berubah seketika saat jam istirahat.
Karena tiba-tiba Halilintar diikuti beberapa temannya menghampiri dirinya yang tengah duduk dipinggir lapangan, lalu melontarkan kalimat pedas yang membuat seketika bisikan teman-teman mengenai dirinya berubah sekejap mata.
"Kamu anak cacat!" Halilintar menampis snack ditangan Taufan membuat isinya berceceran terbuang sia-sia ditanah.
Taufan memandang jajan yang sudah tak bisa dia makan lagi, merapatkan bibirnya, nerta biru shapire itu berusaha menatap Halilintar dengan bulir kristal bening yang sudah terkumpul dipelupuk matanya. "Upan nggak cacat, kata Ayah Upan nggak cacat. Kata Ayah Upan cuma sedikit berbeda," balas Taufa mengelak, berusaha agar tak menangis. Kata Ayah anak laki-kali harus kuat, tidak boleh cengeng!
"Kamu nggak sadar? Kamu kan tuli! Udah cacat nggak sadar diri pula!" entah dari mana untuk anak kelas 5 SD bisa tahu kata-kata seperti itu namun yang jelas itu sangat pedas untuk omongan anak seusia nya, menusuk tepat ke hati bocah enam tahun itu.
"Kamu pembunuh Bunda!"
"Aku nggak bunuh Bunda!" tegasnya membela diri.
"Kamu pembunuh, kamu yang udah bikin Bunda aku jadi meninggal!" gema Halilintar terdengar di setiap sudut lapangan, semua pasang mata di lapangan kini hanya tertuju pada mereka.
"Gara-gara kamu, Bunda jadi ninggalin aku!"
"Bukan aku yang bunuh Bunda!"
"Kalo bukan kamu yang bunuh Bunda terus siapa? Bunda meninggal setelah kamu lahir!" Taufan membisu, tak dapat lagi mengelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dream (Taufan)
Teen FictionEND (REVISI) "Maaf kak."-Taufan "Kalo maaf lo bisa ngembaliin Bunda sama Ayah gue maafin."-Halilintar