"Ini apa?" mulut Taufan membisu, dia kaget menatap botol obatnya kini berada di tangan sang kakak yang kini tengah menatapnya dengan wajah datar namun pandangan tajam.
Ceroboh, pagi tadi Taufan hanya meletakan obatnya dimeja begitu saja setelah meminumnya.
"I-itu vitamin kak," balas Taufan sebisanya, dia merutuki dirinya sendiri Halilintar bukan orang bodoh yang akan percaya begitu saja.
"Jangan bohong!"
"Aku⏤"
"Sejak kapan lo ngonsumsi obat-obatan kaya gini?" tidak-tidak pasti Halilintar salah paham.
Taufan menggeleng cepat dengan tuduhan Halilintar. "Kak itu bukan kaya apa yang kakak pikir." ucapnya berusaha menjelaskan.
"Terus? Jelasin ke gue" katanya datar namun terkesan dingin.
"Itu⏤" Taufan menggigit bibir bawahnya gelisah, bagaimana dia harus menjelaskan pada Halilintar, Taufan tak ingin mengatakan yang sebenarnya.
"Kenapa? Nggak bisa jelasin?" ketus Hali sedangkan Taufan memilih menundukan kepala.
"Lo bego atau gimana sih? Mau rusak tubuh lo dengan minum obat-obatan nggak jelas kaya gini?!" justru itu penunjang hidupnya sekarang.
"Lo nggak mikir hah?! Maksud lo apa?! Lo mau rusak tubuh lo biar gue kasihan sama lo?! Nggak akan sialan! Lo nggak mikir perasaan Bunda gimana kalo tahu kelakuan lo gini, dia pertaruhin nyawa buat anak kaya lo! Tapi lo malah⏤" matanya terpejam dengan kuat, Halilintar tidak bermaksud menyangkut pautkan dengan sang Bunda, kenapa dia tak bisa mengontrol emosinya.
"Dari dulu lo tuh cuma bisanya nyusahin tahu nggak! Kalau mau mati kenapa nggak sekalian bunuh diri aja langsung! Nggak usah pake minum obat nggak jelas kaya gini! Menyedihkan!"
"Harusnya dari dulu aja sekalian lo mati di kecelakaan itu! Lagian kenapa cuma Ayah aja yang mati tapi lo enggak? Kenapa lo nggak terluka parah aja waktu kecelakaan itu! Harusnya lo juga mati biar gue nggak perlu tinggal satu rumah sama anak cacat kaya lo!" teriaknya.
"Nggak berguna!" botol dalam genggaman Halilintar itu terbanting dengan kuat membuat isinya berceceran lantai.
Taufan menatap nanar pil-pil yang kini berserakan dilantai.
Kemudian kepala Taufan terangkat menatap Halilintar datar, dia menarik napas dalam, tidak Taufan tidak menangis dia sudah cukup kebal mendengar semua kata-kata kutukan dari mulut si kakak.
"Kakak salah paham." katanya, kemudian anak itu berjongkok, memunguti satu persatu pil yang tercecer dilantai tak perduli walau sudah kotor.
"Gue udah bilang ini nggak kaya apa yang pikirin, gue nggak pernah berniat buat ngerusak tubuh gue sama sekali, gue nggak sebodoh itu. Gue juga sama sekali nggak berniat nyusul Bunda walau emang gue pengin banget ketemu sama dia, gue nggak pernah ada niatan nyusul Ayah walau emang gue kangen sama dia." ucapnya lirih.
"Kakak tahu kenapa?" Taufan mendongak sejenak ingin melihat raut wajah Halilintar. "Karena masih ada misi yang harus gue selesain sebelum gue nyusul mereka."
Setelah memungut semua pil tadi, Taufan berdiri dihadapan Halilintar, menatap pemuda itu. "Pil ini? Apa kakak pikir ini obat ilegal? Apa kakak khawatir kalo gue rusak tubuh gue?"
Halilintar diam memperhatikan tanpa merespon.
"Tapi kakak tenang aja, ini resep dokter kok bukan kaya apa yang kak Hali pikirin." Taufan terkekeh miris. "Gue juga nggak suka minum obat kalau bukan karena harus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dream (Taufan)
Teen FictionEND (REVISI) "Maaf kak."-Taufan "Kalo maaf lo bisa ngembaliin Bunda sama Ayah gue maafin."-Halilintar