11. Chance

1.2K 114 7
                                    

Pandangan mata ruby itu tak sedetik pun teralihkan dari sosok rapuh yang kini terbaring tak berdaya di bangsal rumah sakit.

Wajah pucat itu tetap ketara walau tertutup masker oksigen dan beberapa alat medis lainnya yang Halilintar tidak tahu apa namanya dan fungsinya.

Matanya terpejam damai bagai tak tertidur berhari-hari.

Semalam Taufan pingsan setelah mimisan membuat Halilintar panik dan khawatir dibuatnya, dia segera menghubungi Fang untuk membantu membawa Taufan kerumah sakit.

Takut.

Itu yang Halilintar rasakan mendengar satu fakta lagi menampar nya telak, penyakit adiknya makin parah.

Dia sedang berusaha memperbaiki hubungannya dengan Taufan, mengapa menjadi seperti ini. Halilintar masih belum terlambat kan untuk memperbaiki semuanya?

"Lin?!"

Suara itu, Halilintar kenal dengan jelas itu suara sahabatnya disusul dengan derap langkah mendekat.

Halilintar masih tak berniat menoleh, dia sibuk menatap wajah sambil menggenggam tangan sang adik yang tidak di infus.

"Gue perlu bicara," ucapnya kemudian berlalu keluar ruangan.

Helaan napas keluar dari Halilintar, dia meletakan tangan Taufan dengan hati-hati lantas bangkit dari kursi menyusul temannya.

"Kenapa lo nggak kasih tahu gue sejak awal?" Halilintar melontarkan pertanyaan, sedikit kecewa karena dia baru tahu fakta itu kemarin.

Dia kakaknya, namun Fang jauh lebih tahu semua tentang Taufan dari pada dirinya. Harusnya Halilintar orang yang pertama kali tahu kali kondisi Taufan, bukannya tahu dari orang lain.

Rasanya dia tak pantas, mungkin Fang lebih pantas disebut saudara dari pada dia.

Halilintar kecewa pada dirinya sendiri, terlalu sibuk dengan kata benci.

"Sorry, Taufan yang minta gue buat sembunyiin dari lo. Awalnya gue juga mau ngasih tahu lo, tapi dia mohon sama gue supaya rahasiain ini dari lo," jelasnya.

"Maaf baru kasih tahu lo kemarin"

Halilintar mengangguk mengerti, ini bukan salah siapapun. Halilintar yang salah dari awal, dia yang bersikap acuh tak perduli dan tak ingin tahu apapun soal kondisi si adik.

"Lo udah denger penjelasan dokternya kan?" lagi, Halilintar mengangguk.

"Lo harus bujuk Taufan supaya mau kemoterapi, gue udah berusaha bujuk Taufan tapi lo tahu sendirilah, dia sama keras kepalanya kaya lo. Kalo bukan lo yang bujuk dia siapa lagi kan"

"Gue nggak yakin, Fang." lirihnya.

"Maksud lo?"

"Gue nggak yakin gue bisa bujuk Taufan," katanya.

"Lo abang nya, dia pasti bakalan nurut kalo sama lo" ucapan Fang malah membuat Halilintar tersenyum kecut.

"Gue rasa... gue nggak pantes buat itu, gue udah coba perbaiki hubungan gue sama Taufan, tapi emang rasanya sulit karena kita emang nggak pernah deket dari dulu."

"Apalagi sikap gue selama ini yang buat dia harus nanggung semuanya sendirian. Gue nggak yakin kalo harus nyuruh dia bertahan cuma buat orang brengsek kaya gue."

Fang menatap iba pemuda didepannya.

"Terus?"

"Tapi gue pengin Taufan sembuh," katanya.

"Ya kalo lo mau dia sembuh, lo harus yakinin dia buat kemoterapi! Lo abangnya, cuma lo yang bisa bujukin dia"

Halilintar terdiam. "Dia belum tahu soal Bunda kan?" Fang menggeleng.

Little Dream (Taufan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang