Happy Reading!
Hari ini Halilintar bersyukur setidaknya dia bisa sedikit lega dengan hasil kondisi Taufan yang mulai membaik, anak itu bahkan sudar sadar.
Beberapa hari yang lalu memang cukup berat bagi Halilintar yang terus dilanda rasa cemas akut dengan kondisi sang adik, dia hanya menghabiskan waktunya untuk melihat Taufan dari balik kaca karena Dokter masih belum mengizinkan siapapun untuk menjenguk adiknya, beliau bilang kondisi Taufan masih rentan untuk di jenguk.
Namun ada satu hal yang membuat dia jadi sedikit kecewa sebenarnya, karena sejak Taufan sadar anak itu tak mengucapkan satu patah kata pun selain meminta untuk segera pulang. Tentu saja Halilintar menolak mentah-mentah permintaan konyol adiknya yang baru sadar itu.
"Pulang."
"Upan nggak mau repotin kakak, nggak ada gunanya dirawat dirumah sakit, itu cuma habisin biaya. Lagian bentar lagi gue juga bakal mati."
Lagi. Halilintar kembali membentak anak itu karena ucapannya. Dan sekarang anak itu memang tidak lagi merengek minta pulang namun malah diam, mengabaikan dan terus menghindarinya.
Sedikit sakit sebenarnya saat melihat orang yang kita sayangi mengabaikan kita, Halilintar jadi berpikir 'oh begini rasanya jadi Taufan saat setiap hari Halilintar abaikan? Sakit ternyata haha'
Tapi tak apa, sekarang Taufan sudah baik dan tak ada kata rasanya yang bisa mengungkapkan rasa syukur Halilintar untuk itu.
Taufan memfokuskan pandangannya pada keluar jendela yang langsung mengarah pada pemandangan luar gedung rumah sakit, menampakan betapa indahnya langit sore berwarna orange. Langit sore memang indah, Taufan sangat menyukainya.
"Dek?" panggilan pelan itu mengalihkan lamunannya. Taufan hanya menoleh sebentar dengan wajah datar tanpa merespon.
"Makan dulu ya, dikit aja buat ganjel minum obat," tangan Halilintar yang memegangi sesendok bubur yang mulai dingin itu masih setia mengapung di udara, anak itu tak merespon dan malah membuang muka mengacuhkan dan menganggap ucapan Halilintar sebagai angin lalu.
Entahlah, Taufan sebenarnya tak ingin mengabaikan dan mengacuhkan sang kakak namun otak dan hatinya kini sedang tak ingin diajak bekerja sama. Rasanya Taufan juga tak tahu bagaimana cara menjelaskannya, yang jelas saat ini Taufan hanya butuh pelampiasan untuk emosinya dan hanya ingin di mengerti.
Taufan hanya merasa ini sangat tidak adil baginya, rasanya menyedihkan setiap dia mengingat takdirnya dan merasa tidak berguna sama sekali sekarang. Dia hanya tak ingin merepotkan satu-satunya anggota kekuarga yang dia punya sekarang.
"Dek." Panggilan kedua masih tak direspon, Taufan lebih memilih menidurkan tubuhnya membelakangi Halilintar dan menarik selimut sampai atas bahu, berpura-pura tidur.
Taufan bisa mendengar helaan napas pasrah dari Halilintar terdengar. "Yaudah kalo gitu kakak keluar dulu ya sebentar, kalo butuh apa-apa langsung pencet tombol panggilan."
Tak lama setelah mengatakan itu, terdengar suara pintu terbuka kemudian tertutup lagi. Taufan menyibak selimutnya, kembali pada posisi duduk menatap pintu yang sudah tertutup.
Halilintar pasti sakit hati dengan sikapnya sekarang, Taufan tidak tega sebenarnya untuk mengabaikan Halilintar.
Dengan sisa tenaga yang dia punya Taufan beranjak dari ranjangnya, menapakan kaki diatas dinginnya lantai tanpa alas kaki kemudian menyeret tiang infusnya sebagai pegangan untuk membantu berjalan.
Langkahnya membawa kearah roftop gedung rumah sakit ini, Taufan bisa melihat Halilintar berdiri disamping pembatas gedung menatap lurus kearah matahari yang akan tenggelam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dream (Taufan)
Teen FictionEND (REVISI) "Maaf kak."-Taufan "Kalo maaf lo bisa ngembaliin Bunda sama Ayah gue maafin."-Halilintar