18. Lega

341 55 4
                                    




































Rose tersenyum tipis dengan pengakuan Jennie, "Thanks ya Jen... Tapi sorry, aku gak bisa. Aku sayang sama kamu Jennie, tapi kalo masih ada kesempatan kedua, aku tetap ngarep kalo itu teteh kamu yang kasih. Soal perasaan ku ke kamu, itu cuma angin lewat yang asal singgah, tapi bukan berarti bisa ngilangin perasaan aku ke Jane, sebagai cewe yang emang dari awal aku dambain. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku Jennie, I'm so sorry." Jujur nya.

Jennie nampak menunduk, dia sangat sakit hati tentu saja, dia sungguhan sememuja itu ke seorang Rose, yang nyatanya tetap lebih mengharap kan teteh nya, bukan dia.

Rose gantian menggenggam erat tangan Jennie, "Jan tangisin aku Jen... Gak pantes banget aku, kamu tangisin, aku ini bajingan yang udah bohongin kamu dan ngerusak kepercayaan kamu sama teteh kamu, gak ada alasan buat kamu tetap nyimpan rasa kagum itu buat aku, Jen... Stop ya... Cari yang lain, yang lebih pantes buat kamu kagumi dan cintai, aku gini karena aku juga sadar diri, kalo gadis sebaik kamu, emang sebaiknya gak ketemu lagi bajingan modelan aku. Kamu terlalu perfect buat aku Jennie, sorry. Aku pulang ya... Selamat malam, salam buat semuanya, terutama teteh kamu, sorry and thank you for everything." Pamitnya lalu mulai menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran rumah keluarga Jane ini.

Sedangkan Jennie akhirnya menjatuhkan air matanya yang sedari tadi ia tahan, ia menangis perlahan dan makin sesenggukan, patah hati lagi dan lagi, dia sangat kecewa. Saking kecewa nya, membuat Jennie jadi takut sendiri, semoga saja dia tidak berujung membenci Rose apalagi teteh nya sendiri nanti.

***

langit sudah semakin cerah, waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, Lily terjaga, ia lihat ke kursi samping, Chici sudah tidak ada di sebelahnya.

Lily akhirnya memutuskan keluar dari mobil untuk merenggangkan otot nya, sekaligus menghirup dalam-dalam aroma segar udara pagi yang menghiasi. Matanya melihat Chici yang terlihat telponan dengan seseorang di balik sebuah pohon.

Mobil mereka memang tengah berhenti di rest area, Lily hendak berjalan mendekat untuk menyapa, tapi...

"Iya mah iya..." Jawab halus Chici di telepon itu.

Lily menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik sebuah pohon juga, untuk mendengarkan obrolan Chici.

"Aku ngerti mah... Aku memang salah,"

"........."

"Tapi mah—" Chici nampak menahan emosi sendiri karena ocehan sang mama di telepon itu.

"........."

"Huft... Iya mah... Aku pasti pulang kok... Tapi aku masih butuh waktu, mama tau kan... Aku anaknya kalo lagi pengen ngejar sesuatu, gak akan semudah itu buat nyerah. Mama mau aku pulang? Oke, aku pulang, tapi dengan syarat."

".........."

"Mama gak boleh ngelarang aku buat terus tetap lanjutin hubungan aku sama pacar ku, aku sayang beneran sama dia mah... Aku jatuh cinta,"

"............."

Chici pegang keningnya yang nampak mumet menahan emosi, "Kalau begitu mama jan harap aku akan cepat-cepat pulang, aku bisa aja loh mah... Ngilang dari kalian semua selamanya, bangun kehidupan berdua doang sama pacar ku, tanpa kalian ketahui dimana kami sembunyi. Mama harus ngerti ini, aku gak bisa lepasin pacar ku gitu aja, cuma karena kehalang restu dari mama dan papa, bahkan semua orang,"

"......"

"Terserah, mama aja yang pikirin sendiri dengan matang, apa kira-kira keputusan yang akan kalian ambil soal keinginan ku ini. Karena aku pribadi, gak akan pernah mau putus dari Lily, aku sayang sama mama, tapi kalau mama aja gak mau ngerti soal apa hal yang paling aku pengen di dunia ini, hal yang paling buat aku bahagia, ya sorry mah... Buat sekarang, aku lebih milih untuk tetap hilang dari kalian semua, seenggaknya aku sama Lily bisa tetap terus bareng. Sorry mah... Aku tutup ya telepon nya." Chici langsung matikan sambungan telponnya sepihak, dan memejamkan matanya untuk bersandar duduk di bawah pohon besar itu.

Spill The Tea, Ma'am? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang