3. Crazy Fate

40 3 5
                                    

Iam Sorry

A Family Story by

Dwinda Darapati

••••

Selamat membaca 😍

***


“Sania?"

Salwa sungguh tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sania, gadis yang sangat dia benci itu ternyata adalah anak ayahnya yang artinya dia jugalah  saudara tirinya.

Gadis itu melangkah segera menuju dapur, dia melepas celemek yang melekat pada dadanya. Berpamitan pulang lebih awal karena rasa sesak di dadanya. Takdir macam apa ini? Dia sangat membenci Sania, tapi ternyata … ah, Salwa tidak bisa berkata apa-apa.

Dia berjalan cepat. Ingin segera sampai di rumahnya untuk membaringkan diri dan menangis karena kenyataan hidup yang tidak bisa diprediksi. Salwa benci kenyatan bahwa bundanya hanya istri simpanan ayahnya, Salwa benci kenyataan bahwa ayahnya menelantarkan hidupnya. Dia mencoba mengerti keadaan orang tuanya, dia mencoba menghapus rasa benci itu. Tapi Sania?

Saat menyebarang, Salwa bahkan tidak melihat rambu lalu lintas. Dia bahkan hampir tertabrak jika tidak ada yang datang menariknya hingga masuk ke pelukan seseorang itu. Salwa sejenak sadar, dia menoleh pada sosok yang sudah menyelamatkannya.

“Liam?” Dia segera melepas pelukan. “Terima kasih,” ucapnya.

William melempar senyum manis, dia membawa Salwa duduk di tempat yang lebih sepi. Gadis ini pasti syok setelah hampir tertabrak barusan.

“Kenapa jalannya buru-buru? Coba kalau ga ada gue, pasti lo udah ketabrak,” ujar cowok itu.

Jika Salwa dalam kondisi baik-baik saja, dia mungkin akan senang berduaan dengan William, tapi sekarang dia tengah hancur. Wajahnya bahkan memerah menahan tangis dan apakah dia harus menunjukkan ekspresi ini pada orang yang disukainya?

William melihat wajah Salwa yang memerah. “Salwa … are you okay?”

Saat itu juga gadis itu menumpahkan tangisnya di depan William, dia tidak tahu harus apa. Hanya bisa menangis mengetahui kenyataan yang tengah dia hadapi.

“Ada masalah apa? Sini cerita,” kata cowok itu sembari mengusap punggungnya dengan usapan pelan.

“Sesak, dada gue sesak!” adu Salwa dalam tangisnya.

“Lo butuh pelampiasan? Lo bisa gigit gue,” kata William menyerahkan lengannya.

Salwa hanya menangis, dia benar menggigit lengan William, meninggalkan bekas disana, sedangkan cowok itu menahan rasa sakit di lengannya. Salwa pikir dia melakukan hal yang benar, dengan melampiaskan amarahnya, setidaknya bisa mengurangi rasa sesak di dadanya. Tidak mungkin dia menceritakan semuanya, kan? Tapi William malah salah paham, dia malah berpikir sikap Salwa yang seperti ini karena nilainya yang turun.

“Ini masih ujian tengah semester, di ujian selanjutnya lo pasti dapa posisi pertama lagi,” ujarnya. “Lo harus belajar giat kedepannya.” Dia bernapas lega setelah Salwa melepaskan gigitannya.

“Tapi lo selalu giat, kok, Wa. Mungkin kali ini kesempatan itu ga ada buat lo. Tapi semoga di ujian mendatang lo kembali ke posisi seharusnya. Gue akan dukung lo.”

Salwa mengabaikan semua kalimat penenang dari William, karena sama sekali tidak berpengaruh.

***

Senin pagi, setelah melaksanakan upacara bendera semua siswa kembali ke kelasnya masing-masing. William melihat Salwa yang berjalan yang diiringi oleh Angga di belakangnya. Dia melambaikan tangan berniat menyapa gadis itu, tapi sama sekali tidak ada tanggapan.

“Aneh, padahal kemarin dia gigit gue,” gumamnya.

“Gigit apa?”

William terkejut ketika Aluna tiba-tiba bertanya dan mendengar gumamannya.

“Apaan, sih kepo!” omel cowok itu lalu melangkah buru-buru menuju kelasnya.

Aluna tertawa. “Ada yang aneh sama Will, gue rasa dia malu waktu di dekat lo, San.”

Sania tersenyum simpul, Aluna terlalu bodoh untuk memahami situasi, jelas-jelas pandangan William mengarah pada Salwa.

“Yok ke kelas,” ajaknya setelah itu.

Pada jam pelajaran pertama guru menyuruh membentuk kelompok belajar yang beranggotakan dua orang perkelompok. Dia menyuruh siswa berhitung untuk menentukan kelompoknya. Dan sialnya, Sania dan Salwa malah berada di kelompok yang sama.

Jika itu adalah orang lain, mereka pasti akan senang. Keduanya sama-sama pintar dan tentunya bisa dengan mudah membuat bahan presentasi mereka. Tapi tidak, mereka adalah Salwa dan Sania. Bekerja sama adalah sebuah kemustahilan.

“Saya mau ganti kelompok!” Sania angkat bicara terlebih dahulu sebelum Salwa protes.

Susi, guru mereka menyipitkan  mata. “Kenapa? Bukannya bagus berkelompok dengan orang yang sama-sama pintar?”

“Engga bisa gitu dong, bu. Kalau saya dan dia bersama, gimana sama teman-teman lain yang kewalahan,” kata Sania mengutarakan niat baiknya.

Sedangkan Salwa tersenyum licik. Dasar munafik, sok baik, batinnya.

“Tidak bisa, kelompok ini tidak bisa diganti. Lagi pula kalian bisa mengakrabkan diri dengan bekerja sama,” tegas Susi yang tidak menerima keluhan dari Sania. “Kalian nyaman musuhan terus?’

Alhasil keduanya terpaksa berada dalam satu kelompok. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dan saling diam sampai Sania memulai terlebih dahulu.

“Ini kerja kelompok, kenapa lo juga buat materi sendiri?” tanyanya.

“Materi yang lo sediakan belum tentu benar,” jawab Salwa dengan acuh.

“Let me see, lo ambil referensi dari mana?” tanya Sania. Meski dia tidak suka Salwa, dia akan tetap berbuat baik demi nilai mereka.

“Gue pernah baca bukunya, and you know, iam a genius. Gue bisa ingat semuanya.” Salwa menjawab dengan sombong.

“Punya gue dari referensi buku ini.” Dia memperlihatkan buku yang kemarin sempat dikatakan bahwa itu adalah buku yang dibeli oleh ayahnya. “Lo mungkin jenius, tapi bisa aja lo salah,” tegur Sania.

Emosi Salwa naik, bukan karena Sania meragukan kejeniusannya tapi karena melihat buku yang dipegangnya, yang dibelikan oleh ayahnya, Herman. Dia meraih buku itu dan melempar ke papan tulis di depan sana sehingga menarik perhatian seluruh warga kelas.

“Salwa!” Sania tidak habis pikir, baiklah Salwa membencinya tapi tidak perlu merusak bukunya juga ‘kan?

“Itu ‘kan buku yang dibelikan ayah lo? Completely useless!”

W-what? Ga berguna?!” Sania tidak habis pikir dengan teman sekelasnya satu ini. Dia memang pintar tapi tidak beretika sama sekali. Percuma pintar jika punya karakter yang buruk, batinnya.

“Salwa … lo apa-apaan sih? Jangan buat keributan kalau guru sedang ga ada,” peringat William menatap gadis itu.

Salwa menarik napasnya, dia menatap semua orang di kelas yang melihat ke arahnya seolah dia adalah orang yang benar-benar buruk. Dia menghempas semua buku-buku yang ada di mejanya.

God dammit!”

Setelah itu dia meninggalkan kelas membuat orang bertanya-tanya ada apa dengan Salwa yang selama ini tidak pernah berkata kasar.

“Astagfirullah, gue barusan dengar apa?” Angga menutup telinganya tidak percaya.

***

Terima kasih sudah membaca 😍

Jangan lupa tinggalkan jejaknya yaa

Iam Sorry [selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang