19. Calm Down, Salwa

23 2 0
                                    

Saya berterimakasih kepada teman teman yang sudah membaca cerita saya.

Terima kasih dan
Selamat membaca

***

Salwa memegang kerah baju William dengan tangan bergetar sedangkan cowok itu keheranan. Dia sudah menahan dari tadi, menunggu jam pelajaran selesai sebelum menghajar William yang dia sendiri tidak tahu seberapa kuat pukulannya nanti.

“Wa … kita bisa selesaikan baik-baik!” kata William menahan tangan Salwa.

Your father is one of the suspects!” Nada suara Salwa terdengar rendah. “Bilang sama gue … jadi tujuan lo ikut nyari tahu selama ini karena ingin melindungi ayah lo?” tanyanya.

“Wa … please. Listen to me, I have no such intention. Quite the contrary, gue ingin tahu apa yang ayah gue lakuin. Dan kalaupun nanti dia bersalah, I’ll take him to court!” William membela diri. Sejatinya memang begitu, dan dia sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan ayahnya.

“Gue harus apa, ha?” lirih Salwa. “Lo bilang lo bakalan bantu, tapi kenyataan ini …” gadis itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. “I look pathetic!”

“Wa … gue akan bantu, gue akan bantu gue janji. Entah itu siapa pelakunya, gue akan tetap bantu. Pegang janji gue!”

Salwa menggelengkan kepalanya kemudian melepaskan cengkaramannya tadi. “Liona!” teriaknya berapi-api.

Jantung William berdebar kencang, amarah Salwa pasti akan sangat besar pada Liona. Selain ternyata pelaku pelecehan itu adalah ayahnya, pelaku pembunuhan berkemungkinan juga ayahnya.

“Wa … stop!” William menahannya.

“LEPAS!”

“Wa … jangan dulu, tahan emosi lo! Jangan buat keributan. Besok kita udah mulai ujian dan please … don’t be hasty. Lo bisa ga ikut ujian besok,” peringatnya.

“Ujian? Apa lo masih mikirin itu sekarang? What the heck are you thinking, Liam?” tangis Salwa. “I don’t care!” Dia kembali berjalan.

“Salwa Nazira … please!” William membawa gadis itu ke dalam pelukannya. “Please … untuk sekarang tahan dulu, tahan. Nanti kalau kita udah nemuin semuanya kita serang dia habis-habisan.”

“Gue kaya gini karena peduli, gue ga mau lo kenapa-napa!”

Salwa menangis, pelukan William perlahan menenangkannya. Dia menumpahkan tangisnya di dada lelaki yang mengisi hatinya meski dia kubur rasa itu dalam-dalam supaya tidak menganggu fokusnya.

***

“Liona!” panggil Angga.

Cowok itu sengaja menunggu, dan dia sengaja pulang telat untuk bertemu dengan gadis ini. Bibir cowok itu tersenyum miring, seolah meremehkan cewek itu.

“Ada apa? Lo Angga, kan?” Liona memang kurang mengenal Angga. Wajar saja, dia hanya tahu cowok-cowok anak organisasi saja.

“Vidio rekaman perkelahian Salwa dan Sania,” ucap Angga menjeda. “Lo yang nyebarin, kan?” tembaknya.

“Angga …”

“Ga usah boong. Gue udah tahu semuanya.” Cowok itu pantang di patahkan. “Tujuan lo apa sih? Bahkan kalau mereka berkelahi, apa itu merugikan lo?” tanyanya.

“Lo kayanya salah paham…”

“Salah paham? Lo tinggal ngaku aja susah banget!” Angga tertawa. “Apa pak Leo perlu tahu apa kerja anaknya? Anak dosen kebanggaan universitas Brahmana? Oh bukan, sekarang dia rektornya.”

“Angga … jaga ya mulut lo!”

“Mulai hari ini, hidup lo ga akan tenang. Karena kesalahan lo akan menghantui lo sampai lo mati!”

***

Sania menatap Salwa yang menggusar rambutnya, gadis itu tampak kacau setelah tau betapa kacaunya kasus ini. Sania bukannya tidak merasakan hal yang sama, tapi gadis itu menutupi semuanya. Jika dia juga seperti Salwa, siapa yang akan menenangkan gadis itu. Dia cukup menyesal kenapa harus pingsan selama pengurusan jenazah ayahnya, dan untuk kali ini gadis itu tidak akan melakukan hal yang sama.

“Minum dulu,” ujar Sania menyerahkan segelas air panas pada Sania.

Semenjak waktu itu, Sania sering datang ke rumah Salwa, dia juga cepat akrab dengan Yuri dan kini rumah itu sudah seakan miliknya juga. Sania tidak lagi canggung karena perlakuan Yuri yang welcome, dan juga Salwa tidak begitu mempermasalahkan lagi.

“Lo ngerasa ga sih, kalau ini semua terjadi karena kesalahan kita?” tanya Salwa setelah meneguk air yang diberikan Sania tadi. “Karena kita yang ga pernah akur, video perkelahian kita juga tersebar. Andai aja … andai aja itu ga terjadi, meskipun ayah meninggal tapi ga dengan cara kaya gini.”

Sania mengangguk. “Iam sorry for everything, iam sorry, Wa.”

Salwa mengangguk. “Lo emang harus minta maaf,” jawabnya kembali menjengkelkan. Padahal tadi dia mengaku bersalah.

“Liona … mau diapain anak itu?” tanya Salwa.

“Sekarang kita jeda dulu, ya. Biar pak Johan yang ngurus dulu. Kita ada ujian, dan ini adalah masa depan kita.” Sania berkata dengan tulus. “Setelah ujian, semoga ini semua selesai dan mereka mendapatkan ganjarannya.”

Salwa mengangguk. “You’re right, gue terlalu lengah selama ini.”

“Wa … gimana kalau kita belajar bersama?” usul Sania tiba-tiba yang membuat Salwa menatapnya tidak percaya. “Iya … sama Angga dan Will juga.”

“Are you sure, Sania Hermawan?” sindir Salwa. “Lo tahu kalau soal nilai gue ga pernah bisa ngalah,” peringatnya.

“Belajar bareng sama anak paling pintar di sekolah apa salahnya?” tanya Sania kemudian.

“Lo juga pintar.” Akhirnya Salwa mengakui meski dengan suara pelan.

Sania tertawa pelan, pun ada Yuri yang diam-diam memerhatikan mereka dari belakang. Keduanya akhirnya bisa akrab, semoga kedepannya akan tetap akrab dan bisa bersatu sebagai keluarga.

Yuri memotret mereka dari belakang dan mengirimkan fotonya pada Naina. Ini adalah kabar baik, dia berharap kedepannya akan tetap seperti ini.

***

Terima kasih jangan lupa tinggalkan jejaknya

Sampai jumpa di next chapter 😍

Iam Sorry [selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang