6. If Only

32 2 0
                                    

Iam Sorry

A family Story by

Dwinda Darapati

***

Selamat Membaca

***


Dalam perjalanan gerbang hingga ke kelas, banyak sekali yang memberikan selamat atas terpilihnya Sania dalam acara ulang tahun sekolah nanti. Gadis itu yang akan memandu acara, tentunya bukan hal yang mudah. Di sekolah mereka, untuk berhasil bisa seperti itu harus melakukan banyak latihan. Beruntung Sania dapat melalui semua itu.

Aluna merangkulnya dari samping. "Bangga banget sama lo, San," ujarnya tiba-tiba. "Tapi gue ga habis pikir lo bakalan minta Salwa jadi rekan lo. Padahal kalian musuhan banget, bisa-bisanya lo ngajak dia."

Sania tersenyum tipis. "Tahun kemarin kan dia yang bertugas, dia pasti punya pengalaman. Jadi kalau gue ajak dia, gue yakin penampilan gue nanti bakalan bagus."

Aluna menggelengkan kepalanya. "Lo emang orang baik, San." Dia menepuk pundak gadis itu. "Padahal waktu lo ajakin dia, responnya kaya gitu."

Kedua gadis itu akhirnya sampai di dalam kelas, begitu Sania duduk dia langsung diurungi oleh siswi lain yang tentunya membuat Salwa yang sibuk membaca buku terganggu. Dia melirik Sania dengan kesal, berdecak kesal dengan menghempas buku agar orang-orang itu tidak terlalu berlebihan dengan Sania.

Salwa menahan kepalanya dengan tangan kiri, sedang tangan kirinya memegang buku. William yang diam-diam memperhatikan gadis itu tersenyum kecil, meski dia berperilaku buruk dan emosian seperti itu jika sedang serius seperti sekarang dia juga manis.

"Ayah kamu pasti bangga banget sama kamu, Sania!"

Kalimat barusan membuat ketenangan Salwa terganggu, apa katanya? Bangga? Hanya karena menjadi pemandu acara? Herman bahkan punya putri yang lebih pintar dari pada Sania yang bisa dibanggakan.

"Sialan!" Salwa berkata dengan suara lantang sambil menutup bukunya. Dia bahkan menarik perhatian orang-orang yang sedang mengerumuni Sania.

"Lo kenapa? Iri?" tantang Aluna. "Wajar aja, sih. Makanya jangan terlalu sombong, roda itu berputar. Lo ga selamanya bakalan jadi siswa terbaik!"

Salwa membuang napasnya kasar, dia mengambil kotak pensilnya dari dalam tas dan mengeluarkan gunting. Setelah mendapatkan, gadis itu berjalan ke arah Aluna dan menodonginya dengan ujung gunting yang tajam.

Semua orang berteriak, Salwa benar-benar gila.

"Salwa!"

William dan Angga bersamaan memanggil namanya.

"Iam not best student again?" tanya Salwa mengarahkan gunting itu pada leher Aluna yang membuat gadis itu susah meneguk ludah. "Lo sendiri nomor berapa? Seratus sepuluh?" sindirnya dengan tawa miring.

Sania mendorong tangan Salwa hingga gadis itu mundur ke belakang, mereka yang tadi disana seolah memberikan ruang bagi mereka untuk berkelahi terlebih setelah melihat Salwa memegang benda tajam itu.

"Lo apa-apaan, sih? Pakai gunting segala!" tegur Sania. "Semuanya bisa diomongin baik-baik!"

Salwa diam, matanya menyipit menatap Aluna lalu Sania dengan pelan. Dia menujuk keduanya dengan jari tengah, setelah itu kembali ke tempat duduknya.

Angga menggelengkan kepalanya melihat aksi barusan, dia baru tahu jika Salwa bisa seperti ini. Sedangkan William terpaksa membuang napas panjang karena harus kembali menata hatinya. Dia tidak mungkin menyukai Salwa jika dia bersikap seperti itu, kan?

Iam Sorry [selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang