Seharusnya Salwa senang mendengar pengakuan William, perasaannya akhirnya terbalaskan. Tapi tidak, bukan ini yang Salwa harapkan. Salwa pernah berkata, dia tidak akan lumpuh dengan perasaaan, karena itu akan melemahkannya. Maka dari itu dia memilih menjauh dari William. Lagi pula William yang tiba-tiba peduli dan suka padanya itu sungguh tidak masuk akal.
Ingat 'kan selama ini dia selalu bersama siapa? Dia bahkan dengan tenang saat Sania bergelayut manja di lengannya. Yang William lakukan pada dirinya hanya mengomeli dan mengomeli sepanjang hari. Ditambah lagi karakter Salwa yang buruk yang tidak mungkin seorang William seorang cowok keren itu menyukainya.
Dia membuang napas berkali-kali. Sekarang memilih focus untuk orang selanjutnya. Angga sudah berhasil menemukan kontak Dela Karina, ini sangat membantunya karena dia dapat langsung menghubungi orang itu. Dia patut bangga pada sahabatnya itu.
"Angga!" panggil Salwa saat mereka sudah dalam perjalanan pulang. Dia sedikit heran, biasanya Angga yang menempelinya tapi kenapa sekarang tidak?
"Apa?" Angga berbalik sambil berjalan mundur.
"Lo ga ingat punya janji? Dela Karina!" serunya.
Angga menggeleng. "Gue janjian sama Will, hari ini dia yang nemenin lo dan gue yang nemenin Sania."
Salwa terperangah, Angga dengan Sania yang benar saja. "Yakin? Sama Sania? Berdua? Lo sejak kapan dekat sama dia? Lo suka sama dia?" dia mengajukan pertanyaan berbondong-bondong.
Angga berhenti hingga Salwa menabrak dirinya. "Awh!" Gadis itu meringis pelan. Cowok itu mengusap dahi Salwa yang menabrak dadanya. "Kita udah jadi tim, Wa. Hari ini gue bareng Sania, besok lo yang bareng Sania."
Melihat Salwa yang hendak menyela, Angga segera mematahkan. "Udah ... jalani aja, gue juga perlu mengenal Sania, gue pengen tahu gimana sifat asli saudara lo itu."
***
Angga menatap Sania yang berjalan ke arahnya. Mereka tampak canggung, karena tidak pernah sedekat ini. Tapi Angga mencoba menghangatkan suasana saat Sania sampai di sisinya.
"Lo udah makan?" tanyanya.
Sania mengangguk. "Udah. Lo?"
Angga mengangguk. "Udah juga. Kirain lo tadi belum makan, mau gue ajakin makan," ujar cowok itu.
"Lah, katanya lo udah makan, emang mau makan lagi?"
"Lo mau?" tanya Angga menaikkan satu alisnya.
"Boleh."
Mereka berdua tertawa, menuju sebuah warung nasi goreng langganan Angga. "Pak ... nasi goreng yang biasa, dua!" serunya.
"Siap, Ngga!" jawab si bapak penjual nasi goreng. "Pacarnya udah ganti?" celetuk bapak itu tiba-tiba.
"Hah? Pacar yang mana?" Angga bertanya santai.
"Biasanya 'kan sama neng Salwa, sekarang neng Salwa udah end ya sama kamu, Ngga?" tebak si bapak. "Tapi tipe kamu yang beginian, ya. Mirip."
"Yang kemarin itu bukan pacar," jawab Angga. "Masa bapak ga bisa bedain, sih. Mana dia emosian banget," sambungnya.
"Bukan, toh? Tapi kayanya lo suka deh, Ngga!" tembak bapak itu.
Sania menatap Angga ketika dia bicara lalu beralih menatap penjual nasi goreng itu saat dia berbicara. Ini pertama kalinya dia mendengar perbincangan hangat antara penjual dan pembeli, terasa akrab dan dia menyukainya. Sedangkan selama ini, Sania yang selalu mendatangi rumah makan dan restoran terkenal tidak menemukan perbincangan seperti ini.
"Eii ... jangan sembarangan. Mana mau gue naksir sama si Wawa. Lihat aja orangnya, marah-marah, ngomong pakai bahasa Inggris tuh, kadang gue kaga ngerti." Dia menceritakan keluh kesahnya berteman dengan Salwa selama ini.
"Jadi neng yang sekarang lo suka?" tanya bapak itu sambil menyajikan dua piring nasi goreng diatas meja.
Sania langsung menggeleng. "Bukan, pak. Saya Cuma temannya," jawabnya spontan.
Bapak itu terkekeh dia kembali ke depan kuali untuk melanjutkan masakan untuk pembeli yang lain.
Angga menyengir saat mereka akan makan. "Selamat makan," ucapnya.
Sania mengangguk. "Lo juga." Dia menyuap satu suap. "Enak banget!"
"Emang ... pak Suharyono atau panggilan gue ke dia pak Yoyo emang jagonya nasi goreng." Angga menyuap satu sendok. "Kapan-kapan kita makan lagi kesini."
Sania mengangguk antusias. "Boleh ... bareng Salwa dan Will juga, ya," ajaknya.
"Tergantung, sih. Lo tau kan Salwa tu kaya gimana," kata Angga setelah itu. Bukan apa-apan tapi Salwa itu selain emosian dia juga aneh. Dia bahkan rela menahan perutnya karena tidak ingin makan di tempat yang sama dengan Sania.
"Gue selalu berdoa supaya Salwa suatu saat nerima gue sebagai saudaranya. Lo bantu juga, ya." Sania memohon. "Oh ya ... lo manggilnya Wawa?"
Angga mengangguk. "Oh ... iya. Wawa tu panggilan kesayangan dia, ayah bundanya manggil Salwa tuh Wawa."
"Kalau tiba-tiba gue juga manggil Wawa gimana?" tanya Sania.
"Boleh juga, siapa tahu kalian bisa lebih akrab," sahut Angga menyetujui.
"Oh ... ya, jadi rencana kita selanjutnya apa, nih?"
Sania mengangguk tersadar. "Ada detektif swasta, dia mau bantu, kok."
Angga tampak bersemangat. "Serius?!"
"Iya."
Angga yang sudah selesai meminum air putih. "Jadi ... apa yang bisa gue bantu?"
"Yang dilakuin oleh Salwa," jawabnya.
"Korban?"
Sania mengangguk. "Kita juga butuh saksi, tapi untuk dapati saksi ini agak susah. Tapi insyaallah pak Johan mau bantu. Pokoknya kita harus kerja sama dan saling percaya." Dia membuang napasnya. "Tapi syarat pak Johan satu," katanya.
"Apa?"
"Gue dan Salwa harus baikan dulu."
Sania tidak berbohong akan hal yang dikatakannya pada Angga. Memang benar, awalnya Johan menolak membantu namun begitu Sania yang datang setiap hari ke rumahnya dan memohon membuat laki-laki itu goyah. Dia akhirnya turun tangan atas nama kemanusiaan dan persahabatannya dengan Herman.
Angga bersyukur begitu ada yang mau membantu, meski nanti dia tidak yakin berapa biaya yang akan dikeluarkan karena ini. Tapi yang pasti, jalan terang dari kasus yang aneh ini sudah tampak. Mungkin setelah ini Salwa akan lebih bahagia, lebih bisa bersikap baik lagi.
follow juga ig saya : biniustadz_
KAMU SEDANG MEMBACA
Iam Sorry [selesai]✓
Mystery / Thriller"Gue anak yang lahir karena cinta, tapi lo ... you are just a child born from your parents' arranged marriage." Ketika dua saudara tiri yang saling membenci harus bekerja sama untuk mengungkapkan kejanggalan kematian ayah mereka. Dan saat itu merek...