12. Two Sides

24 3 0
                                    


"Kenapa lo bisa yakin kalau ayah dibunuh?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa lo bisa yakin kalau ayah dibunuh?"

Bukan apa-apa Sania hanya tidak ingin melakukan kebodohan, dia tidak ingin berspekulasi asal yang nanti akan menyebabkan masalah. Dia tidak ingin membuat nama keluarganya jadi buruk.

"Hati." Salwa menjawab sambil terus memeriksa semua file-file yang ada di dalam laptop ayahnya. Dia duduk di kursi taman meski sedang panas sementara Sania berdiri memerhatikan gadis itu. Meski awalnya tempat itu teduh sekarang tidak lagi mengingat matahari yang terus berjalan.

"Hati? Kenapa lo bisa se yakin itu? Oke fine, kalau ayah ga bunuh diri, tapi bisa jadi aja itu kecelakaan!" Sania memberikan pendapat yang lain. Dua cowok disana mendengarkan dua saudara itu.

Salwa menatap Sania. Namun setelah itu dia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Sania kesal. "Will ... Angga, coba kalian pikir---"

Kalimat gadis berambut pendek itu langsung dipotong oleh William. "Kalau bunuh diri biasanya bakalan ninggalin surat wasiat. Apa gue salah?" tanya cowok itu.

Angga mengangguk membenarkan. "Iya ... gue sering nonton kaya gitu."

"Masalahnya ini bukan film, dan ayah kalian tewas berkaitan dengan kasus pelecehan itu. Apa kalian pernah liat orang yang malu karena perbuatan itu sampai bunuh diri?" tanya William.

Angga lagi-lagi mengangguk. "Iya, kalau di film dia bakalan lakuin segala cara untuk nutupin kasusnya."

"Kita bisa minta bantuan jaksa atau detektif..." Sania lagi-lagi dipatahkan.

"Jaksa? Detektif? Bantuan? Lo pikir semudah itu?" tanya Salwa. "Butuh jutaan buat bayar jaksa."

"Dan lo akan menjadi detektif?" tanya Sania yang terasa menohok. "Lo udah kelas dua belas, Wa," peringatnya.

"Dan biarin ayah gue di mati dan di fitnah? Ini sama sekali ga adil."

"Wa ..." Terdengar suara memelas dari Sania.

"APA?!" Salwa menutup laptop itu. "Are u not sad, Sania? He is ur dad!"

Sania membuang napas kasar, bahkan dalam keadaan seperti ini Salwa masih tetap mengajaknya berdebat. "Gue sedih, gue bahkan belum bisa makan nasi sampai sekarang karena kejadian yang menimpa ayah. Tapi ... bersepekulasi kalau ayah dibunuh gue ga bisa." Gadis itu berkata dengan napas yang tidak teratur.

"Why you can think like that?"

Salwa mendengus, persis seperti dia kesal setiap kali mereka membahas nilai. "Karena dia ayah gue."

"Dia juga ayah gue!"

"BEDA!" tekan Salwa. "Gue anak yang lahir karena cinta, tapi lo ... You are just a child born from your parents' arranged marriage."

***

Salwa dengan berani kini mendatangi kampus tempat ayahnya mengajar. Dengan ditemani Angga, gadis itu mencari ruangan BEM fakultas hukum untuk meminta bantuan mereka. Setelah ruangan ketemu dua orang sahabat itu menemui orang yang ada disana.

Iam Sorry [selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang