Chapter 22: Pura-pura

81 7 9
                                    

Gelisah di tengah malam. Aku bolak balik mengganti posisi tidur tapi kesadaranku nggak kunjung menghilang.

Banyak pikiran berputa-putar di kepala seperti sekawanan laron mengelilingi lampu.

Sedih dan khawatir. Aku tak tau apa yang akan terjadi di hari esok.

Rasanya beban sudah terlalu berat untuk dipikul.

Suara-suara kecil yang biasanya terlupakan kini dapat kudengar jelas seolah mereka dengan sengaja ingin membuatku agar tetap terjaga.

Suara angin.

Suara jangkrik dari luar.

Suara detak jarum jam.

Bahkan suara napasku sendiri.

Kubangunkan badan lalu melihat waktu menunjukan pukul 02.35

Mungkin sedikit jalan-jalan kecil bisa membantu menenangkan pikiran.

Aku berdiri lalu berjalan keluar kamar.

Nggak tau mau ngapain. Tanpa tujuan aku berjalan pelan mengelilingi sofa di ruang tamu.

Langkah demi langkah kubuat.

Saat ini tubuhku mengikuti pola yang ada di pikiran.

Berputar-putar nggak jelas tanpa arah tujuan.

Setelah mengelilingi sofa beberapa putaran. Kujatuhkan badan duduk di atasnya.

Sesaat terbayang wajah kesal Cynthia tapi langsung kuusir.

Kuhela napas panjang.

"Udah nggak tau lagi aku harus apa."

Tiba-tiba aku jadi ingin melihat kondisi Tiara. Tentu itu yang langsung kulakukan.

Aku berjalan menuju kamar Tiara lalu membuka pintunya yang nggak dikunci.

Sungguh tidak terkejut aku melihat adik perempuanku sedang tertidur sangat pulas dengan mulut menganga.

Kaki dan tangannya terbuka lebar membentang di atas kasur. Baju tidurnya terangkat sampai membuat perut terekspos dengan bebas.

"Enak banget ini anak tidurnya."

Aku berjalan masuk untuk membenarkan baju dan posisi tidur Tiara agar nggak terlalu memalukan untuk dilihat.

Sudah kulakukan pelan-pelan, tak kusangka Tiara terbangun.

"Kak Alan...??? Apa Kakak mau memangsa adiknya yang lagi tidur?"

Tiara bersuara dalam kondisi setengah sadar.

"Nggak. Udah kamu tidur aja."

"Menyerang diam-diam itu nggak baik... Kakak haru--- am—em..."

Mata Tiara kembali terpejam.

Aku menepuk jidat.

"Tidur aja masih ngelantur."

Tapi meskipun adikku rada ngaco begini, dia adalah orang yang berjasa besar di hidupku.

Dia yang selalu menemaniku di saat senang mau pun sulit.

Dari sejak aku pertama kali membuka mata di rumah sakit dalam kondisi nggak mengingat apa-apa.

Seperti namanya, buatku dia adalah Mutiara yang berharga.

"Tiara..."

Dengan pelan aku mengusap rambut hitam di kepala Tiara.

Mungkin... nggak ada yang perlu aku takutkan. Sebelum aku bertemu dengan Aldi, Fenny dan Cynthia. Aku tetap bisa hidup tenang dengan hanya Tiara di sisiku.

My Love Story Isn't Romance Tragedy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang