Teriakan gemuruh dari langit seolah sedang menakut-nakuti makhluk-makhluk yang ada di bawahnya. Di luar jendela kelas nampak jelas gumpalan awan berwarna gelap.
Pemandangan ini membuat kekhawatiran hinggap padaku.
Aku nggak bawa payung. Jas hujan juga nggak ada. Kalo misal tangisan langit itu telanjur turun, aku harus nunggu reda dulu.
Suara bel berbunyi sebanyak empat kali menandakan jam pelajaran hari ini telah selesai. Semarak kebahagiaan dari murid-murid dengan ramai menyambut suara simbol kebebasan itu.
"Kamu bawa payung, Alan?" tanya siswi perempuan yang duduk di belakangku.
"Aku ngg—"
Suaraku terhenti karena ketika menoleh, terasa pipiku tergores benda lancip berujung bola.
Ternyata ini jebakan Fenny dengan pulpen hitam di tangan kanannya.
"Ahahahahahah," Fenny tertawa senang.
Aku yang kesal langsung merebut pulpen yang dipegang.
"Sialan! Kecoret tau...!!!"
"Emang itu tujuanku, Alan. Nggak apa-apa kamu jadi ada tato di muka. Biar ada serem-seremnya dikit."
"Ngapain jadi serem. Aku nggak lagi mau ikut audisi jadi setan!" ucapku sambil sibuk mengusap-usap pipi.
"Kamu lebih cocok ikut audisi jadi orang bodoh ya. Pasti dapet juara satu deh."
"Meskipun dapet juara satu aku nggak akan bangga kalo menang audisi kayak gitu."
"Setiap orang kan pasti terlahir dengan bakat alami, Alan. Nggak ada salahnya kamu berbangga hati dengan kelebihan yang kamu punya."
"Sayangnya bodoh itu nggak termasuk dalam daftar bakat."
Suara gemuruh kencang disertai kilatan cahaya tiba-tiba menggelegar. Sontak beberapa siswi merespon dengan teriakan nyaring. Termasuk siswi yang berada paling dekat denganku saat ini.
Fenny menunduk dengan kedua tangan berada di kepala layaknya seorang anak kecil yang ketakutan.
"Kamu takut petir?" tanyaku.
Fenny terdiam bergemetar.
"Bhahahahaha. Begitu ya. Besok aku pasang nada dering suara petir ah."
Puas sekali rasanya aku bisa mengejek Fenny.
Satu-satunya siswi yang selalu memakai syal hitam meskipun di sekolah itu lalu menatapku dengan raut muka sangat kesal.
Dia langsung merebut pulpen hitam miliknya yang ada di tanganku lalu memegangi erat lenganku dengan tangan kirinya, dan mencoret-coret dengan tangan kanannya.
"Fenny!! Jangan!! Jangan coret-coret tanganku dong!!" aku bersikeras melarang.
"Yaudah, muka kamu aja ya. Sini diem-diem...!!"
Telapak tangan yang bertekstur lembut namun bertenaga kuat itu lalu beralih memegangi pipiku.
"Stoppp..!!! Jangan eii..!!! Heyyyy...!!!"
Gara-gara petir, aku jadi berakhir pulang sekolah dengan goresan-goresan tinta di lengan tangan dan di muka.
Aku menghabiskan waktu cukup lama di kamar mandi sekolah untuk membersihkan bekas-bekas amukan siswi berambut hitam sepanjang leher itu.
Sahabatku Aldi udah di parkiran atau masih di kelas ya?
Semoga aja dia nggak buru-buru pulang sampe ninggalin aku gara-gara takut akan turun hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love Story Isn't Romance Tragedy!
Roman pour AdolescentsKisah seorang pemuda bernama Alan Naufal yang tidak pernah mendapat keberuntungan dalam hal percintaan. Sebenarnya Alan tidak ingin terlibat dalam percintaan. Karena ia tau, tidak pernah ada kebahagiaan yang bisa didapatkan dari situ. Dan ia percaya...