Chapter 14: Kemarahan - Part 1

199 25 14
                                    

Mataku sedikit terbuka, kemudian aku kembali terpejam. Aku merasa ini sudah pagi tapi tubuhku masih ingin berada dalam lelap sedikit lebih lama lagi.

Aku nggak perlu khawatir akan telat berangkat ke sekolah karena adikku pasti akan bangunin kalo waktu udah terlalu siang.

Tubuhku bergeser jadi ke samping. Mencari posisi yang lebih nyaman.

Kupingku terasa menyentuh sesuatu yang lembut dan hangat. Apakah bantalku memang selalu terasa hangat begini ya? Rasanya jauh lebih nyaman dari yang biasa.

Tanpa merasa perlu untuk memikirkannya, aku mencoba menggeser posisi bantal. Kemudian kurasakan tanganku memegang sesuatu yang kenyal.

Kenyal dan hangat.

Aku mencoba untuk menariknya tapi terasa berat. Bantalku seperti tertanam di atas kasur.

Dalam posisi masih mengantuk aku mengumpulkan seluruh energi yang baru saja terisi dalam tubuhku untuk bangun dan memeriksa keanehan pada alas tidurku.

Tapi yang kulihat bukanlah gumpalan kapuk yang terbalut di dalam kain berwarna kuning bermotif bunga seperti yang seharusnya. Melainkan sepasang kaki, atau lebih jelasnya paha, berbentuk ramping dengan tekstur kulit putih mulus seperti kulit bayi yang belum terbakar oleh sinar matahari.

"Apakah aku lagi di surga?" aku bergumam dalam keadaan setengah sadar.

"Sebegitu cintanya ya, Kak Alan sama paha?"

Wajah kuusap-usap dengan tangan untuk mengumpulkan kesadaran.

"Tiara...?! Ngapain kamu naik-naik ke kasur Kakak?!"

"Hehe... Apa Tiara udah berhasil memenuhi kebutuhan asupan paha harian Kakak?"

"Mana ada asupan kayak gitu...!! Aneh-aneh aja deh kamu pagi-pagi."

"Katanya kan Kak Alan suka tiduran di atas paha. Tiara sekedar membantu mewujudkan salah satu impian Kakak! Gimana...?? Kakak senang kann.... Sampe berasa di surga ya.... Ahahahahahaha...."

"Nggak ada...!!! Paha kamu itu kayak paha malaikat penjaga pintu neraka..!! Kakak keliru ada di surga ternyata ada di dekat neraka."

"Ihh.. Kak Alan... Tiara jadi malu dibilang paha Tiara kayak paha malaikat."

Tiara tersipu memegang pipi dengan kedua tangan.

"Kamu ini yaa...!!! Dah lah. Kakak mau ke kamar mandi. Kamu siapin sarapan sana."

Kakiku turun ke lantai kemudian berjalan menuju pintu kamar.

"Kak! kenapa repot-repot ke kamar mandi?"

"Hah? Repot gimana?"

"Kalo Kakak memohon ke Tiara, nanti Tiara bisa bantuin!"

"Bantuin buang air? Buat apa? Kamu kira Kakak ini kakek-kakek."

Aku melewati pintu tanpa peduli respon Tiara berikutnya.

Kakiku masih merasakan sisa-sisa rasa pegal dari berjalan jauh tadi malam. Tapi pegalnya nggak sampai mengganggu aktifitasku. Hari ini aku tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Berangkat naik angkot ke sekolah. Belajar, kemudian ke kantin pas istirahat.

Kantin sekolah yang ramai. Dengan cepat aku membeli sepotong roti kemudian langsung bergegas ke tempat duduk yang biasa sebelum ada orang lain yang menempati.

Beberapa saat lagi akan ada dua orang yang bergabung denganku. Tapi kali ini satu orang nggak masuk karena masih berduka akan kepergian adiknya. Aku menantikan kedatangan satu orang lagi, dengan perasaan tegang yang menggebu di dalam dadaku.

My Love Story Isn't Romance Tragedy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang