Chapter 21: Komitmen

80 7 1
                                    

Komitmen.

Adalah sesuatu yang mudah dikatakan, tapi pada prakteknya sulit dilakukan.

Kemarin dengan percaya diri aku berkata rencana Fenny akan kuhentikan.

Sebenarnya rencananya nggak buruk. Hanya saja syarat agar rencana itu dapat terlaksana memiliki risiko yang nggak sebanding dengan benefit yang diberikan.

Mencium Fenny satu kali saja sudah bikin aku merasa bersalah setelahnya.

Nggak bisa kubayangkan apa reaksi sahabatku jika tau apa yang telah kulakukan di belakangnya.

Pilihanku sudah bulat.

Rencana ini batal.

Atau jika memang ingin dilakukan, aku akan minta syarat lain.

Sayangnya ketika bertemu dengan Fenny di kelas, aku nggak bisa membuat kesempatan membicarakan hal ini.

Yah. Rasanya aneh juga kalau membahas hal seperti itu saat jam pelajaran.

Jadi kuurungkan niatku sementara.

Selanjutnya pada jam istirahat.

Waktu santai tentunya dapat menolong.

Tapi ternyata enggak.

Kami hanya membahas hal bodoh seperti biasa yang nggak ada kaitannya dengan apa yang ingin kusampaikan.

Tiba lah setelah jam pulang sekolah. Aku dan Fenny berdiri saling berhadapan di atas atap sekolah.

Fenny menatapku dengan senyum lembut.

Sementara aku bingung harus bikin ekspresi apa.

Harus kukatakan sekarang.

Bilang kalau rencana ini batal.

Batal.

Aku ingin membatalkannya.

"Ada apa, Alan?"

"Ah... itu... aku..."

Ya. Sekarang adalah saat yang tepat!

Nggak akan ada kesempatan lain lagi!

Di saat aku sedang mengumpulkan keyakinan dalam hati, tangan Fenny menggenggam tangan kananku. Diangkat dengan pelan lalu ditaruh ke atas sesuatu yang bertekstur lembut dan kenyal.

"Apa kamu masih kepikiran soal ini?"

"F-F—Fenny..!!!??? I..ini..."

"Nggak apa-apa kok, Alan. Kemarin kan aku bilang cuma kaget aja. Aku nggak marah."

Telapak tanganku dengan sendirinya memastikan benda yang sedang kupegang.

Hmm.

Apakah teksturnya memang sekenyal ini.

Ketika aku sedikit saja memberi tekanan, dengan cepat ia dapat kembali ke bentuk semula.

"Mmhh... Alan..."

"M-maaf, Fenny...!! A-apakah aku..."

"Nggak apa-apa. Aku cuma merasa sedikit aneh."

Wajah Fenny nampak tersipu malu dengan warna merah menghiasi pipinya.

Mata Fenny lalu terpejam sambil dagunya sedikit naik menghadapku.

Tanpa dikatakan, aku tau apa yang diinginkan Fenny.

Jantungku berdebar keras. Kalau suaranya diperiksa menggunakan stetoskop mungkin akan terdengar musik orkestra.

Ingin kutolak. Namun tubuhku seakan memiliki fitur pilot otomatis.

My Love Story Isn't Romance Tragedy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang