Chapter 05: Kebebasan Adalah Hal Terindah

879 54 36
                                    

Di dalam dunia yang gelap. Tanpa setitik pun cahaya. Terdengar isak tangis yang menggema dalam sunyi.

Di tengah latar belakang hitam, terlihat seorang gadis kecil sedang berdiri sendirian. Satu-satunya warna yang menemani adalah bayangan putih di bawah kakinya.

Tanpa memikirkan keanehan tempat aku berada, pelan-pelan aku berjalan menghampiri anak itu.

"Kenapa kamu menangis?" aku bertanya.

Gadis kecil itu menurunkan tangan yang hinggap di muka. Meski begitu aku tetap nggak bisa melihat wajahnya karena rambut hitam masih menutupi. Namun sebuah senyum jelas sekali terlihat.

Bukan senyum yang ramah, lebih ke seringai seram. Lalu entah darimana datangnya, tiba-tiba muncul kain hitam panjang yang meliuk-liuk dari belakang tubuhnya. Benda seperti ular itu menjalar sampai melingkar ke leherku.

Aku tercekik. Jeratan kain hitam itu sangat kuat sampai kakiku nggak menapak di tanah.

Tiba-tiba aku bangun dari tidur.

Tersadar dari mimpi, tanganku segera merayap memegangi leher. Beruntung nggak ada apa-apa di leherku.

Mimpi yang menyeramkan! Apakah ini pertanda buruk?

Ayolah. Tanpa mimpi begitu pun hidupku sudah sering tertimpa hal buruk. Itu pertanda yang nggak perlu.

Aku menyadari kalo ternyata aku tertidur di tempat yang nggak biasa. Di atas bangku. Kenapa aku bisa tidur disini?

Datang suara dari arah dapur, kupingku menangkap suara anak perempuan. Pagi-pagi begini biasanya Tiara lagi masak buat sarapan. Tapi suara yang kudengar itu bukan suaranya Tiara.

Siapa dia?

Oh ya. Aku jadi ingat kalau semalam ada orang yang menginap. Kok dia belom pulang sih? Padahal seharusnya hari ini ia berangkat ke sekolah.

Aku turun dari bangku lalu berjalan ke arah dapur untuk memeriksa. Disana aku melihat dua cewek yang kelihatannya lagi memasak. Satu cewek yang lebih tinggi nampak sedang membuka satu kemasan garam baru menggunakan gunting. Yang kupertanyakan disini adalah kenapa ia membuat potongan lurus di atas kemasan?

Beberapa detik kemudian, pertanyaanku terjawab dengan sendirinya. Dengan enteng Cynthia menumpahkan garam yang baru saja dibuka ke atas penggorengan.

"Woaa! Kak Cynthia, garamnya jangan dituang seplastik semua! Taruh seperlunya aja!" Tiara panik melihat aksi bodoh Cynthia.

"Se-seperlunya itu semana, Tiara?"

Yaampun. Cewek itu pasti baru pertama kali ada di dapur.

Tiara buru-buru mengambil codet lalu ia mengumpulkan gunungan garam itu kembali ke plastiknya.

"Kamu lagi ngapain, Mak Lampir?" aku menegur.

Mendengar suaraku entah kenapa bikin Cynthia kaget. Ia sedikit tersentak. Lalu bahasa tubuhnya seperti orang yang sedang kebingungan harus menjawab apa.

"Kak Cynthia lagi belajar masak sama Tiara, Kak Alan," Tiara menggantikan Cynthia menjawab.

"Kenapa harus disini? Kalo dia bikin bumbu masak kita banyak terbuang sia-sia gimana?"

"Berisik kamu, Cecurut! Namanya juga belajar. Wajar kan kalo aku salah," Cynthia berbalik badan, menampakkan muka belum mandi yang memerah. Rambut cokelat yang nggak tersisir rapi itu membuatnya nampak menggoda.

"Kalo sampe habis kamu mau beliin yang baru?"

"Iya, nanti aku beliin, kamu nggak usah bawel!" Cynthia menggerutu.

My Love Story Isn't Romance Tragedy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang