Chapter 08: 90% Rencana biasanya gagal. 10%-nya tidak berhasil - part 2

627 55 49
                                    

Waktu yang tersedia nggak banyak buat ngumpulin uang bayaran sekolah Fenny. Aku nggak yakin sehari ngamen bisa dapet sampai Rp300,000. Apalagi ngamennya cuma dari sepulang sekolah.

Tapi Aldi dan Fenny tetap ingin melakukannya. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuk mereka. Sambil nonton TV tentunya.

Seperti biasa jam 2 siang adalah waktunya aku menonton Dunia Binatang. Aku dan Tiara cukup menyukai acara ini dan seringkali kami menontonnya bersama. Misalnya seperti sekarang ini.

Yang sedang jadi pembahasan adalah Orangutan. Sang narator di TV menjelaskan kalau satwa ini sudah langka dan keberadaannya dilindungi oleh pemerintah. Ia adalah satwa asli Indonesia yang genetiknya 96,4% mirip dengan manusia.

"Genetik itu apa?" tanyaku bergumam.

"Genetik itu semacam bentuk tubuh kayaknya, Kak," jawab Tiara yang duduk di sebelah.

"Begitu ya? Tapi kayaknya bentuk tubuh kita nggak 96% mirip orangutan. Orangutan bulunya masih banyak dan tangannya dua kali lebih panjang dari kita. 50 atau 60% aja cukup harusnya."

"Bener banget, Kak. Seharusnya Kak Alan aja yang jadi ilmuwan," Tiara membenarkan pernyataan cerdasku.

Hanya di depan Tiara aku merasa jadi orang yang cerdas.

Nggak cuma membahas orangutan. Setelah jeda iklan, hewan yang dibahas berganti jadi ular. Melihat ular ini aku jadi teringat dengan film tentang bencana ular di dalam pesawat yang kutonton sama Tiara minggu lalu.

"Tiara, kamu inget film Snake on A Plane?"

"S-sex on A Plane?" Tiara terkaget mundur.

"Snake on A Plane! Ular di dalam pesawat!"

"Ular di dalam pesawat? Oh. Inget, Kak. Film yang kemarin itu ya? Tiara nggak takut, Kak. Nonton itu. Ularnya lucu-lucu. Terutama yang warna coklat itu bentuk kepalanya lucu banget!"

Tiara berkata sambil menggambar bentuk kepala ular dengan gerakan tangannya.

Gara-gara salah dengar tadi, dari gerakan tangan Tiara aku jadi membayangkan bentuk kepala ular yang lain.

"Assalamualaikum!"

Terdengar suara orang mengucap salam dari luar. Suara anak perempuan.

Siapa ya?

Untuk sesaat aku dan Tiara saling melihat. Kemudian aku berdiri dan berjalan menuju pintu.

Palingan orang minta sumbangan masjid. Begitu pikirku.

Setelah keluar, ternyata bukan. Tamu yang datang ini adalah orang yang kukenal.

Seorang cewek cantik dengan mata berwarna hijau zamrud yang berkilau bagai permata. Rambut cokelat panjangnya yang halus sedikit terayun oleh angin pelan di sekitar. Tak perlu diragukan. Hanya Cynthia yang memiliki pesona sekuat itu.

"Kamu ngapain kesini?" tanyaku dingin.

"Terserah aku kan mau kemana. Kenapa kamu yang marah?" jawab Cynthia nggak senang.

"Nggak terserah kamu dong! Kemarin bukannya kamu dah janji nggak kesini lagi?"

"Ada sesuatu yang mau kukasih ke kamu. Buruan bukain pagarnya!"

"Sesuatu? Bom atau racun?" tanyaku curiga.

"Suuzon banget sih! Bukain aja cepet!"

Sejujurnya aku malas menurutinya. Tapi nggak ada pilihan lain. Kuanggap ini sekedar sopan santun menerima tamu, meski tamunya nggak diundang.

My Love Story Isn't Romance Tragedy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang