32. jadi bagian dari inti

251 19 3
                                    

"pasti abis ini ada drama lagi" ucap Aika lesu
*
*
*

Saat ini pun Aika sudah berdiri di depan pintu mansion nya. Ia pun meng Hela nafasnya. Mempersiapkan diri dan hati untuk menerima segala omongan setra tamparan yang mungkin akan segera ia alami. Dengan perlahan namun pasti, Aika mendorong pinta masuk. Sesuai dengan perkiraan saat masuk pun Aika sudah di sambut dengan ucapan sang kepala keluarga yang ada di ruang tamu.

" Dasar anak tak tahu diri, pulang sekolah bukanya pulang malah pergi gak jelas, malu-maluin kelurga, dasar gak guna" sentak sang papa.

" Terus Ika harus . Di rumah, di siksa? Ia?. Ika capek pah capek. Ika di rumah gak di rumah, ika selalu salah" ucap Ika.

" Menjawab, huh?"

" Ia. Karena Ika udah capek. Ika capek diginiin. Asal papa tau, ika lebih suka di luar daripada harus di rumah. Diluar Ika bebas, diluar Ika bahagia, di luar gak ada yang bikin Ika sakit hati. Sedangkan di rumah. Di rumah ika menderita, di rumah segala sumber sakit Ika, di rumah yang harusnya menjadi tempat ternyaman malah menjadi tempat yang paling Ika benci, itu semua karena kalian. Andai kalian enggak giniin Ika, Ika enggak berontak gini" ucap ika panjang lebar.

Mama? Papa? Hanya diam karena di pikiran mereka, Aika tidak layak untuk di beri kasih sayang. Karena di pikiran mereka karena Aika, Alika pun tiada.

Ardan? Ouh jangan tanya dia. Dia hidup di antara bimbang. Ia bimbang, dia benci Aika. Namun terkadang ia tak tega dengan sang adek. Adek? Sejak kapan, bukankah dia tidak tidak perlu kepada Aika. Egois? Ia Ardan adalah orang yang paling egois.

" Tidak usah menjawab. Kau ini tak lebih dari seorang pembawa sial. Andai kau tidak ceroboh, dan membunuh saudari mu sendiri, mungkin Alika masih ada di sini, di sisi saya sedang bermanja-manja" ucap yang mama.

Aika hanya terkekeh miris. Andai, andai, dan andai. Ia andai dia punya bukti bahwa bukanlah dia yang membunuh, mungkin keluarganya tidak akan seperti ini.

" Mama pikir, Aika mau di posisi ini, enggak ma. Aika engga mau di posisi ini, di tuduh tersangka, padahal bukan Aika. Andai kalian datang sebelum aku mungkin kalian akan tau siapa yang membunuh Lika" ucap Aika.

" Andai kalian juga mencari bukti lebih dalam, dan tidak hanya mengandalkan dengan apa yang kalian liat, kalian akan tau yang sebenarnya"

" Tapi apa, kalian tidak mencari bukti, tapi langsung menempatkan aku yang menjadi tersangka, aku juga terpukul atas kepergian Lika. Tapi mengapa tidak ada yang percaya padaku" ucap Aika lagi.

Nangis? Jelas lah, siapa yang tidak akan menangis jika kelurga lah yang memuat kita menangis. Kelurga yang harusnya menjadi tempat ternyaman malah menjadi tempat yang menciptakan luka paling dalam.

" Kenapa diam? Benarkan. Harusnya kalian mencari bukti terlebih dahulu. Bukan langsung menetapkan aku sebagai tersangkanya"
Isak tangis pun mulai terdengar memilukan.

" Ika gak menyesal hadir di keluarga ini. Ika beruntung ada di tengah tengah kelurga ini, ika bahagia. Tapi kenapa Ika yang di beri cobaan kaya gini. Ika gak sekuat itu" ucapnya.

" Iya kamu tidak menyesal hadir di keluarga ini. Tapi kami yang menyesal kenapa kamu yang harus hadir di Keluarga ini. Dan saya pun menyesal terlah melahirkan seorang putri seperti mu"

Damm.... Sakit? Banget lah. Seorang ibu yang harusnya menyayangi kita malah mengucapakan kalau di menyesal terlihat melahirkannya, sakit hati tiada Tara.

" Sakit banget padahal bukan gue yang di maksud, apa lagi Aika" batin Ardan menatap sendu Aika.

Ingin membantu, namun ia pun juga ikut menggoreskan luka. Ia sadar ia salah. Benar ucapan Aika. Mereka tidak mencari bukti namun menetapkan jika Aika lah sang pembunuhan.

" Mungkin mama menyesal melahirkan kan ku, dan aku hanya ingin mengucapkan, semoga suatu saat mama bisa sayang sama aku lagi" ucap Aika pun berlalu pergi untuk menuju ke kamarnya.

" Apa kesalahan gue gak bisa di maafin ya, apa salah gue sebesar itu. Gue sayang mereka berdua, tapi gue juga bingung siapa yang salah" batin Ardan, Ia pun berlalu pergi menuju kamarnya.

Di tempat lain namun masih satu bumi. Tepatnya di kamar Seorang cowok. Terdapat dua manusia berbeda jenis.

" Minggir gak lo" sentak Nathan.
Ya dua manusia itu ada lah 2N yang tak pernah akur.

" Gue mau ngomong njing" jawab Natha tidak santai. Bagai mana mau santai sedari tadi ia sudah memanggil nama sang kakak namun tidak di respon samasekali. Bukankah sangat menjengkelkan.

Setelah Natha mengucap kata katanya. Nathan hanya menatap Nathan datar.

" Ya lo berhentilah dulu bisa mainnya" pinta Natha tidak sabar.

" Ngomong tinggal Ngomong susah amat" ucapnya sambil menatap Nathan datar.

" Ya lo berhenti dulu mainnya gila" bentak Natha. Dan akhirnya pun dengan amat sangat tidak rela Nathan pun berhenti bermain PS.

" Dah puas lo. Sarang ngomong cepet, lo mau ngomong apa. Sini duduk dulu lo mau ngomong sambil berdiri huh"

" Bacot lo setan" ucapnya sambil duduk di samping Nathan.

" Jadi gini. Lo udah tau kalo dia gak sendiri dalam melakukan hal itu" ucapnya.

" Ia gue tau. Tapi gue gak tau siapa orang yang sudah bersekongkol sama dia" ucapnya santai sambil makan kripik.

" Gue tau siapa orang itu. Dia ada di sisinya setiap saat dan selalu membela"

" Maksut lo. Orang itu inti genk yang di pimpin Alvin" ucapnya dan hanya di balas deheman oleh Natha.

" Terus rencana lo selanjutnya apa" tanya Natha.

" Santai aja dulu. Kita main main dulu. Yang penting kita happy dulu. Dah lo sana balik kamar gue mau lanjut main"

" Dih ngusir dasar durjanah sialan" ucapnya lalu pergi dari kamar Nathan.

Di sisi lain

" Lo harus hati hati dalam melangsungkan. Jangan sampai buat mereka tau siasat kita" ucap seorang pria dengan kemeja hitam.

" Lo tenang aja asal lo selalu di sisi gue, Gue yakin gak bakal ada yang tau" ucap sih perempuan.

" Oke gue bakal percaya sama lo. Tapi lo harus ingat untuk tujuan awal kita. Jangan sampai terlena sama mereka" ucap si pria lalu ia pun pergi dari hadapan si perempuan.

aku datang untuk balas dendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang