1.1 Kematian

2.5K 80 1
                                    

Tak ada yang memilih untuk hidup miskin atau kaya. Semua sudah guratan nasib yang ditakdirkan

***

Part 1. Akhir Penderitan, Akhir Kehidupan

Hujan deras bersamaan kilat yang menyambar-nyambar di langit malam. Kuntala--remaja 18 tahun-- terus berlari menerjang badai. Beberapa bayangan gelap mengejar di belakangnya.

"Cepat kejar! Jangan biarkan dia lolos!"

Sialan! Mengapa ini harus terjadi padaku? makinya.

Mengapa mereka tak melepaskannya. Pemuda itu terus merutukki nasibnya. Kuntala terus berlari, hingga sampai di pinggiran hutan. Di depan sana, samar-samar terlihat telaga yang tertutup kabut yang tebal.

Tak ada jalan bagi Kuntala untuk kembali maupun melarikan diri. Ia sudah kehabisan tenaga, ia berusaha mencari tempat bersembunyi. Namun, telaga angker lapang tanpa semak belukar, hanya tumbuh rumput dan bunga-bunga air yang merambat di tepinya.

"Di sini, Dia lari ke arah sini!" Suara preman yang memburunya terdengar sangat jelas di keheningan malam. Hujan pun mulai berhenti. Akan semakin mudah mereka menemukannya.

Kuntala tak berniat untuk mundur. Pilihan hanya dua. Menyerahkan diri pada mereka, atau terjun menyelamatkan diri. Tubuhnya saat ini sudah babak belur, luka tusuk bahkan masih terasa sakit di ulu hatinya. Akan sangat sulit untuk melawan mereka.

Kuntala bukan seorang yang pengecut. Namun, kondisi tak memungkinkan untuk berhadapan langsung. Prioritas saat ini adalah nyawanya. Demi apa ia berlari tengah malam dikejar sosok yang ingin melenyapkannya.

Wajah polos Caca, adik semata wayangnya, amanat almarhum kedua orang tuanya membayangi pelupuk matanya.

Aku harus kuat. Aku harus bertahan! Ia menekadkan diri.

"Itu dia!"

Tak ada jalan kembali. Kematian belum pasti. Namun, ikhtiar itu harus diyakini. Byur! Kuntala terjun ke telaga yang dipenuhi kabut gelap di depan matanya.

"Dia terjun ke air, Kang!"

"Cepat cari!"

"Jangan! Di sini tempat angker! Nanti kita kena tulah kalau mengganggu penghuninya. Kita tinggalkan saja dia. Aing mah yakin, dia pasti akan modar di makan jurig!"

Kuntala merasakan dingin yang menyayat kulit. Napasnya terasa sesak. Matanya perlahan mulai buram.

Apakah ini kematiannya? Wahai Sang Kuasa, aku hanya bisa menitipkan keluargaku pada-Mu. Kuntala berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya.

Hanya dingin dan kegelapan tak berujung yang Kuntala rasakan.

"Dia benar-benar bodoh terjun ke telaga ini!" ujar lelaki kepala pengejarnya.

"Dia pasti sudah mati. Telaga ini sangat dalam. Lagipula di sini, kabarnya ada buaya dan ular siluman. Pasti dia sudah dimakan siluman," sahut anak buahnya.

"Kita sudah menunggu dan mencari begitu lama. Sebaiknya kita kembali saja, Bos. Di sini... sangat menakutkan." Salah satu anak buahnya meraba bulu kuduk yang mendadak merinding.

"Tidak. Kita harus pastikan dia sudah mati atau masih hidup."

Suasana di sekitar telaga tampak menyeramkan dengan kegelapan tanpa ada cahaya sinar bulan, ditambah gumpalan kabut menambah suasana semakin mengerikan.

Para preman yang mengejar Kuntala merasa ketakutan. Mereka membayangkan dari balik kabut di tengah telaga itu akan muncul sesuatu yang menyeramkan seperti rumor yang selama ini beredar-- di telaga angker ini, hidup seekor ular raksasa.

Sementara itu, jauh di bawah telaga, Kuntala sudah nyaris tak kuat menahan napas. Ia berharap para preman itu segera pergi. Namun, sepertinya harapannya sia-sia. Kini lehernya seperti tercekik. Ia sudah tak tahan lagi. Air mulai terhisap masuk ke hidungnya. Perlahan, penglihatannya mulai mengabur.

Kuntala teringat semua kehidupannya. Kedua orang tuanya meninggal karena sakit saat ia masih kecil, meninggalkan seorang bayi perempuan cantik. Neneknya yang sudah jompo yang merawat dan membiayainya. Dapat dipastikan hidup mereka sangat susah meskipun sesekali mendapat bantuan dari tetangga dan dana desa, tetapi tak selamanya mampu mengandalkan bantuan orang lain. Kebutuhan mereka sangat banyak.

Ada kebutuhan lain seperti; biaya sekolah Kuntala dan adiknya yang masih SD, juga biaya berobat neneknya yang sudah sepuh dan sakit-sakitan. Bantuan beras dari pemerintah hanya cukup untuk bertahan hidup selama sebulan. Itu pun harus menahan lapar beberapa hari, jika bantuan telat.

Hidup dalam kemiskinan dengan sejuta penderitaan yang menimpanya, bukanlah keinginannya sebagai manusia yang lahir ke dunia ini.

Kuntala, sejak kecil hidup miskin dan menderita, itulah garis nasib yang harus dijalaninya. Ia yang didoktrin keluarganya 'tak mengapa hidup sederhana asal jujur dan baik hati, berbuah pahala di surga--seumur hidupnya tak mampu berbuat apa-apa, hanya mampu menerima segala perundungan dari orang yang kaya dan berkuasa.

Namun, berbeda malam itu.

Bersambung.

Hola, ini akun baru dari Gloria Pitaloka penulis novel Kuntala. Silakan difollow dan jangan lupa vote dan komentar, ya. Terima kasih.

SUAMI SILUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang