3.1 Godaan Pertama

1.5K 57 1
                                    


Manusia kuat bukanlah yang kuat fisiknya. Namun, yang kuat mengendalikan hawa nafsunya.

Bab 3

Ratu Sisikwangi mengibaskan selendangnya. Dalam sekejap Kuntala sudah berada di sebuah gua yang sangat luas dan terang benderang oleh benda-benda yang berkilauan.

"Ini---?"

"Ya, semua akan menjadi milikmu, Kuntala. Asal kamu mau menikah denganku."

Kuntala tidak percaya dengan apa yang dilihat oleh mata telanjangnya.

"Ini pasti sihir," gumamnya.

"Bukan. Ini bukan sihir, Kuntala. Lihatlah dan genggam baik-baik."

Kuntala perlahan melangkah. Seluruh permukaan lantai tempatnya berada dipenuhi benda berharga. Tumpukan koin, lempeng emas, berbagai perhiasan mewah dari permata yang bersinar, guci, pedang, dan pakaian yang sangat mewah. Semuanya indah dan membuat Kuntala terkagum-kagum.

Nalurinya sebagai seorang manusia yang mengagumi harta benda tentu saja tergerak untuk memilikinya.

"Tidak, tidak. Ini hanya ilusi!" Segera ditepisnya kepingan emas tersebut.

Prak!

Lempengan emas batangan tiba-tiba berhamburan dan melayang-layang di udara, memperlihatkan tulisan cetakan di bagian bawah benda-benda tersebut. VOC, lambang mahkota, juga tahun dalam angka romawi.

"Sudah kubilang ini bukan sihir maupun ilusi. Ini emas dan perhiasan asli buatan manusia. Semua ini adalah peninggalan bangsa kulit putih, penjajah yang pernah menjajah wilayah kalian ratusan tahun lalu. Perhiasan ini pun sama. Selain milik penjajah, ada juga milik kerajaan dan para ningrat."

"Lantas, bagaimana kalian bisa memilikinya? Apakah kalian merampoknya?"

"Kami bangsa siluman, meskipun memiliki kemampuan mengambil paksa, tetapi semua itu adalah barang yang diberikan dengan sukarela. Sebagian hasil perjanjian pengorbanan mereka, sebagian memang dikubur, ada pula yang sengaja ditinggalkan mereka dan meminta kaum kami untuk menjaganya. Tentu saja, setelah ratusan tahun tak ada yang mengambil, ini menjadi milik kami."

"Hmmm, jadi begitu."

"Tentu saja kami memiliki emas dan uang buatan kami sendiri. Namun, tidak diberikan pada manusia begitu saja karena hal itu akan membuat ketidakseimbangan perekonomian di dunia kalian. Akan tetapi, emas-emas tersebut bisa dijual sebagai barang antik atau dilebur menjadi bahan baku pembuatan perhiasan. Harganya tentu mahal."

Kuntala terdiam. Ia berusaha menyerap semua informasi dari sang Ratu yang entah mengapa diceritakan kepada dirinya yang hanya seorang manusia.

"Bagaimana, Kuntala? Kamu sudah tertarik untuk menjadi rajaku?"

Pikiran Kuntala berkelana. Menjadi seorang raja dari ratu yang sangat cantik jelita dengan imbalan harta dunia? Sebenarnya itu hal yang menggiurkan. Kuntala lalu teringat pada Amih dan Caca. Jika ia memiliki emas permata ini, tentu hidup mereka tak akan kesusahan lagi. Mereka tak harus menahan lapar maupun ketakutan ditagih utang oleh preman rentenir itu. Mereka juga tidak akan waswas saat Caca dipaksa menjadi istri keempat juragan Bejo. Selain itu, Caca juga bisa melanjutkan sekolah tinggi dan hidup lebih baik lagi. Tak ada yang akan memandang rendah, menghina, dan mempersulit hidup mereka lagi.

Kuntala mendesah. Nasib buruknya karena kemiskinan seakan-akan terbentang di depan mata. Kelaparan, kedinginan, kesakitan. Dikucilkan, dipermalukan, diancam, dan dilukai sejak lahir. Semua itu membuatnya berpikir ulang tentang tawaran sang Ratu.

"Tidak, Tidak!" Kuntala menepis semua pikiran di kepalanya. Sebuah nasihat tiba-tiba berdengung di telinganya. Suara ayah dan ibunya.

"Kuntala, Ayah dan Ibu berharap kamu menjaga dan melindungi Nenek dan adikmu dari panasnya api neraka, bukan sekadar panas dan sengsaranya dunia."

Terbayang pula nasihat Nenek menjelang tidurnya. "Kuntala, meskipun kita miskin, tetapi jangan sekali-kali berbuat jahat, seperti menjadi kaya dengan menggadaikan harga diri dan keyakinan. Hidup sederhana lebih baik daripada menjual kehidupan. Yakinlah, berbuat baik akan lebih berbuah kebaikan meski sebesar butiran debu."

Jika ia menerima tawaran Sisikwangi, bukankah itu sama saja dengan menjual diri pada iblis? Bukan hanya harga diri, tetapi keyakinan pun bukan lagi miliknya. Dalam jangka panjang, atau mungkin selama hidupnya akan menjadi budak abadi. Bukankah tujuan hidup manusia untuk menjadi insan yang mulia agar kelak bisa hidup mulia dan abadi dalam kekekalan bersama Sang Pencipta?

Lantas, jika ia membuat ikatan perjanjian budak dengan bangsa siluman ini, bukankah tempat kembali hanya di dasar kerak neraka? Tidak, bahkan kerak neraka terlalu bagus. Tentunya ia akan selamanya jadi budak yang hina dan menjijikkan. Godaan sang Ratu memang luar bisa menggiurkan. Namun, Kuntala tak ingin menggadaikan kemanusiaannya yang berharga dengan menjadi budak mereka.

"Hei, Siluman Ular! Aku tidak tertarik dengan harta kekayaan ini. Aku bisa mencarinya sendiri!"

Wajah cantik Ratu mendadak berubah menjadi gelap. "Baik, masih ada ujian yang kedua. Lihatlah!"

SUAMI SILUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang