10.1. Kitab Pusaka

621 26 1
                                    


Azan Subuh menyadarkan Kuntala. Ia berniat menyudahinya latihannya. Tubuhnya sudah penuh kekuatan dan ia mahir melakukan banyak gerakan jurus. Dalam satu niat dan langkah, kini, ia sudah kembali dan menemukan dirinya sedang duduk tertidur dalam pelukan Caca dan Amih.

"Ternyata, hanya mimpi? Tapi seperti nyata? Siapa pula yang memanggil namaku di sana?" Kuntala mengamati tubuhnya sendiri. Utuh, tidak kurang satu apa pun. Rasa sakit yang menderanya juga sembuh. Bahkan, tubuhnya seperti dipenuhi banyak kekuatan tak kasatmata.

Perlahan Kuntala menggeser tangan dan kaki perempuan-perempuan kesayangannya. Ditatapnya wajah Caca yang mungil, polos, dan terlihat lemah. Ditatapnya pula wajah Amih yang tua, lusuh, keriput, dan terlihat lelah. Mereka pasti menerima banyak penderitaan berkali-lipat selama dirinya pergi, batinnya.

Kuntala mengepal tangannya. "Bejo, dan siapapun kalian yang ingin membuat keluargaku menderita, aku tak akan membiarkan itu!" tekadnya.

Kuntala dengan hati-hati beranjak ke dapur. Ia menuruni pijakan batu untuk sampai di lantai tanah.

Di dapur yang dindingnya hanya terbuat dari belahan bambu seadanya dan di sana sini sudah miring itu, Kuntala tak menemukan bahan makanan maupun pekakas berharga. Hanya ada dipan reyot, rak, yang semuanya terbuat dari bambu. Di pojok lainnya: terdapat piring seng, gelas bambu, mangkok batok kelapa, cobek tanah, lumpang kayu, gentong, dan tungku tanah liat, juga dulang kayu. Semuanya sudah lusuh.

Kuntala membuka pandaringan, dan hanya l hanya menemukan beberapa butir beras yang sudah kawak berkutu. Teratak tempat biasa menggantung labu, jagung atau pisang pun kosong melompong. Keluarganya benar-benar sangat miskin.

Melihat kondisi rumah yang bobrok, sangat mudah terbakar, Kuntala membatin, "Aku harus segera membawa mereka pindah. Meskipun rumah ini rumah kenangan dan paling nyaman, tetapi tidak aman sekarang untuk Amih dan Caca. Namun, dari mana aku mendapatkan uang? Bahkan, untuk sarapan hari ini saja mereka sama sekali tak memiliki makanan."

"Jangan khawatir, aku akan mengirimkan bahan makanan."

"Aaaa!" Kuntala terperenyak. Di depannya berdiri melayang sesosok pemuda berambut panjang dan mengenakan jubah putih seperti pendekar.

"Siii-siapa kamu?" Kuntala bersikap waspada.

"Aku leluhurmu, bodoh! Sudah lupa setelah latihan di alam gaib buatanku?"

"Ma, maaf. Saya enggak bisa mengenali Tuan."

"Kan aku sudah bilang, kalau kamu naik tingkat, aku bisa terlihat di luar. Kamu sebaiknya terus cepat naik tingkat dan perbaharui kami."

Saat mereka berbincang itulah, perut Kuntala berbunyi.

"Hmm, kamu lapar?"

Wajah Kuntala memerah. "Ti-tidak, Tuan."

Tuan Leluhur memutari Kuntala. "Kamu bohong!" ucapnya. Kuntala hanya terdiam malu.

"Hmm, ya sudah. Kamu punya sesuatu yang berharga yang bisa disedekahkan?"

"Saya tak punya uang ... tunggu!"
Kuntala teringat kalau sedari kecil sering menyisihkan uang dan menabungnya di palang gombong bambu di pintu dapur.

Dengan penuh semangat dibelahnya betung menggunakan golok.

Prak! Bambu belah, maka berhamburan dari dalamnya uang logam pecahan seribuan, lima ratusan, dan kertas dua ribuan. Mata Kuntala berbinar. Dengan cepat ia menghitung uangnya.

"Ada 100 ribu lebih, Tuan. Ini tabungan saya setahun ini."

"Baiklah. Simpan dan tutupi pakai dulang!" titahnya. Kuntala menurutinya.

"Tunggu!" cegahnya. "Pisahkan itu beberapa koin kuno."

Kuntala memeriksa kembali. Benar saja, di antara koin yang masih baru terdapat beberapa koin yang sudah lama. Sepertinya, tak sengaja memasukannya. Itu koin-koin yang biasa digunakan untuk mengerik ketika masuk angin, juga mainan Caca sewaktu mereka kecil dulu.

Kuntala memisahkan koin kuno. Selain itu, sisanya diletakkan semua di bawah dulang sesuai perintah leluhur.

Setelah 5 menit. "Sekarang, bukalah."

Kuntala terbelalak. Di bawah dulang uang logam miliknya, hilang berganti dengan beras dan sembako. Beberapa makanan siap masak dan siap saji yang Kuntala tahu, hanya di jual di toko di kecamatan. Diantaranya; bakso, nuget, sosis, daging, ayam, sarden, mie, sirup, susu, telur, dan roti. Bahkan, karena hanya siswa miskin yang bisa sekolah dengan beasiswa, Kuntala jarang mencicipinya, kecuali dijamu atau dihadiahi teman.

"Tu-Tuan, ini dari mana? Ini seperti makanan yang hanya ada di minimarket. Tuan ... tidak mencurinya, kan?"

"Sembarangan! Aku menukarnya dengan makanan di toko!" Tuan leluhur mencebik.

"Ta-tapi, bagaimana jika mereka menyadari barangnya hilang dengan cara aneh?"

Leluhur melipatkan tangan. "Tenang saja. Semua sudah sesuai aturan yang biasa mereka lakukan. Hukumku tidak akan memancing kekacauan di dunia manusia."

"Baiklah, Tuan. Terima kasih atas bantuannya. Nenek dan Caca akan senang melihat makanan dari kota ini. Tapi, bagaimana caranya mengatakan asal makanan ini?"

"Hmm, bukankah sebelumnya, kamu baru pulang kampung? katakan saja pemberian teman yang terlupa."

Kuntala baru ingat, sebelum tragedi telaga itu, ia baru saja datang dari kecamatan. Kuntala sekolah di satu-satunya SMA yang ada di kecamatan dan dia tinggal di sekolah untuk menghemat biaya kos.

Kuntala menepuk dahi, "Benar juga."

***

Catatan:
Dulang: Baskom kayu/bambu
Sampurasun: Salam khas Sunda artinya mendoakan
Rampes : Jawaban salam mendoakan yang sama
Dipan : Tempat duduk/tidur terbuat dari papan/bambu

Bumi Sunda 31 Agustus 2021

SUAMI SILUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang