6.2 Olah Kanuragan

943 33 1
                                    

Kuntala pun teringat saat Sisikwangi hendak menghajarnya. Ia mendengar suara berbisik yang sangat mirip dengan suara yang didengarnya saat ini. Suara itu sama persis seperti sewaktu di alam siluman, saat nyawanya berada dalam bahaya. Suara yang membisikinya itu seolah-olah memberinya petunjuk sehingga bisa melarikan diri. Suara yang sepertinya berasal dari seorang lelaki tua yang berwibawa.

Hati kecil Kuntala pun mulai goyah, seakan-akan menyuruhnya untuk memercayai suara gaib itu. Nalurinya seperti menyuruhnya untuk mengikuti semua arahan dari suara tanpa wujud itu.

"Baik. Saya akan mengikuti petunjuk dari Anda."

Seketika hening menjeda cukup lama, membuat Kuntala menunggu dengan tidak sabar.

"Tuan? Tuan!" Kuntala memanggil- manggil dengan cemas. Lama tidak ada suara. Kuntala kembali menggigil, merasa harapannya untuk selamat kembali menjauh. Ia takut suara itu meninggalkannya seorang diri.

"Berisik!" Setelah menunggu akhirnya suara itu terdengar kembali.

"Saya pikir Anda meninggalkan saya, Tuan." Kuntala gembira. Harapannya seketika kembali.

"Kamu konsentrasilah. Dengarkan petunjukku."

"Baik, Tuan."

"Tarik napas melalui hidung, kembungkan perut, rapatkan mulut, buang napas dengan perlahan. Rasakanlah hawa panas di ulu hatimu. Lakukan perlahan dan berulang sampai hawa panas itu bangkit. Jangan berhenti, jangan melamun, jangan memikirkan hal lain. Mulai!"

"Baik, Tuan."

Kuntala mengikutinya meskipun dada dan paru-parunya terasa sakit karena kemasukan air hujan dan air telaga. Namun, ia tetap berusaha melakukan pernapasan yang diajarkan Tuan asing di kepalanya.

Satu jam lebih Kuntala mengolah napasnya. Perlahan hawa panas mulai terasa di perutnya, menyebar ke seluruh tubuh. Beberapa kali ia terbatuk dan mengeluarkan cairan yang banyak. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun, Kuntala tak putus asa. Ia terus melakukannya.

Beberapa kali juga tubuhnya terasa sangat gatal karena digigit binatang. Namun, sesuai instruksi suara di kepalanya, ia harus fokus dan tidak boleh teralihkan. Kuntala terus bertahan.

Kali ini, seekor ular kecil melewati tubuhnya. Kuntala merasa tegang. Peristiwa di alam siluman kembali membayangi dirinya. Namun, bentakan suara Tuan membuatnya meneguhkan kembali. Ia harus bisa melewati semuanya.

Pada akhirnya, setelah batuk yang menyakitkan berkali-kali, cairan di lambung dan paru-parunya terdorong keluar. Napasnya pun menjadi lebih ringan, dadanya tak terasa sakit lagi. Hawa panas pun lebih terasa hangat, berpindah-pindah, berkumpul di dalam perut, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Perlahan-lahan rasa sakit di sekujur tubuhnya menghilang.

Dua jam telah terlewati. Purnama semakin condong ke arah timur. Kuntala merasa tubuhnya dipenuh energi baru. Rasa bosan karena melakukan olah napas itu perlahan menghilang, berganti dengan kesenangan baru. Rasa nyaman karena hawa panas yang bangkit dan menyebar terasa menyembuhkan dan menguatkan seluruh anggota tubuhnya.

"Sekarang bangunlah!"

Kuntala kembali mengikuti instruksi. Ia duduk dengan posisi bersila. Tubuhnya terasa bertenaga dan tak ada rasa sakit. Kuntala melanjutkan pernapasannya.

"Tuan, saya sudah merasa pulih tanpa ada sakit."

"Tetap lanjutkan. Luka dalammu masih belum pulih sepenuhnya. Akan tetapi, sekarang kamu sudah bisa mengonsumsi herbal. Ambillah rumput karomah dari balik bajumu!"

Kuntala merogoh ke balik bajunya. Tangannya meraih seutas benda yang teraba oleh tangannya. Di telapak tangannya kini terdapat sebatang rumput seperti rumput kering berwarna keperakan. Rumput itu memancarkan cahaya berkilauan.

"Apakah ini yang dinamakan rumput karomah? Mengapa ada di sakuku? Jika dimakan apakah tidak beracun? Ini lebih seperti seutas kawat berwarna perak. Apa tidak akan membuatku mati?" Kuntala bertanya-tanya dengan keheranan. Sedikit keraguan muncul. Namun, lagi-lagi ia menepis semua itu. "Aku harus percaya. Tidak ada yang tahu jika aku meminumnya aku akan selamat atau tidak. Namun, lebih baik mencoba daripada hanya menunggu kematian.

Dengan penuh kepasrahan, Kuntala memakan rumput itu. Rasanya sungguh tidak enak. Tanpa air, Kuntala menelannya sekaligus.

Argh!

Kuntala merasakan tenggorokannya seperti terbakar. Rasa panas yang menyengat ke seluruh perut dan area tubuhnya menyebar dengan begitu cepat. Kuntala menggelepar-gelepar seperti ikan kehabisan air.

Rasa haus yang menderanya, membuat Kuntala tersungkur ke dalam telaga. Ia berusaha meminum air yang justru membuatnya batuk sangat keras. Hidungnya terasa perih dan panas seperti terbakar. Kuntala merasakan energi yang begitu melimpah, meluap-luap tak terkendali dalam tubuhnya.

"Bodoh! Siapa yang menyuruhmu minum? Cepat lakukan olah napas tadi atau kau akan mati meledak! Segera kendalikan dan netralkan hawa panasmu di perut!" Suara gaib itu terdengar kembali.

SUAMI SILUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang