CHAPTER 6

5.3K 1.1K 71
                                    

Ini konsepnya 'a day with my—new—boyfriend' apa gimana, ya?

Dijemput pagi-pagi buta—ofkors aku hiperbola—untuk diajak ke Perpustakaan Nasional, date tapi ngerjain skripsi, walau bukan ngerjain-ngerjain amat, karena lebih banyak ngobrol bisiknya daripada ngetik atau baca. Aku bahkan baru beres menyelesaikan bab 3 yang berisi tentang metode penelitianku di perpustakaan tadi. Dengan kata lain, berarti berkat si Chiki Ball ini, ya, progresku jalan? Ini kalau aku nggak ngerengek tadi minta udahan karena kepalaku sudah keluar asap invisible, Saki pasti masih kekeh mau bantu lanjutin. Dia kayaknya bukan pengemban sistem pelan-pelan asa kelakon. Walaupun, untuk kasusku, pelan-pelan ya nggak ke mana-mana, hehe.

Tapi ternyata rengekan itu berhasil, lho! Dia mengiyakan ajakanku keluar dari sini. Tak ada buku yang kupinjam, dia menjanjikan siap menemani ke sini lagi. Bagus deh! Kayaknya gedung ini bikin otakku lumayan lancar. Nah, sekarang, kami lagi di perjalanan untuk mencari makan, karena dia bilang pilihan makan di dalam perpus tadi tidak terlalu banyak. Dia juga memberiku kebebasan menentukan makanan atau tempat makan jika ada dan dia tidak keberatan untuk mengiyakan.

Ih, kok baik banget pulak ini orang.

Kalau dipikir-pikir, ah mendingan nggak usah dipikirin nggak sih?

Aku menyerongkan tubuh, memandanginya masih dengan perasaaan tidak percaya. Bisa-bisanya aku dapat hoki sepuluh tahun penuh atau malah seumur hidup dengan cara semudah ini. Sebelumnya, kenalana sama cowok tuh rasanya bikin capek, entah lewat sosia media, lewat teman, atau lewat alam. Kalau yang baik dan kita mau, besoknya cling ilang bagai uang bulanan. Kalau yang menurut kita enggak banget, malah kekeh aja seolah disediakan semua bekalnya buat deketin.

Nah ini, tiba-tiba datang makhluk bernama—ya amplop, nama lengkapnya tadi siapa? Sakian? Muhammad? Aku tertawa sendiri karena merasa tolol, tapi aku memaklumi diriku sendiri kok, karena tadi, kan, aku kerja keras berusaha menyelesaikan skripsiku—walaupun masih jauh. Jadi, wajar, kalau nam dia yang baru sekali ini kudengar aku sudah lupa.

"Kenapa?" tanyanya, jelas kebingungan karena aku sejak tadi memandanginya sambil ketawa sendiri. Mungkin nanti dia berniat untuk belok ke rumah sakit dan mendaftarkanku ke poli jiwa.

Aku menggelengkan kepala pelan. Kalau dilihat-lihat, nih cowok manis banget, lho. Pakaiannya rapi dan 'lucu', senyumnya juga manis, rambutnya rapi, pakai jam tangan, kukunya bersih dan nggak dipanjangin kayak jamet itu—maaf, yaaaa, ini persolaan selera. Oh bentar deh, tangan kanannya masih kosong tuh. Gimana kalau—

"Kenapa?" tanyanya kedua kali. Yang kali ini, dia sambil menggaruk belakang kepala, daun telinganya merah, astaga! Mukanya juga ... ngakak banget makhluk ini salah tingkah.

"Gue masih nggak nyangka, mimpi apa ya bangun-bangun dapet pacar."

Dia menoleh, bibirnya membentuk senyum tipis. Kaum dengan mental bangsawan—aku nggak ngomongin soal harta dia, ya, jangan salah paham!—mana ngerti konsep ngakak sampai nangis.

"Gue nggak suka jamet tapi gue orangnya alay. Gimana tuh, Ki?"

"Maksudnya?"

"Lo tau jamet, kan?"

Kepalanya mengangguk.

"Nah, biasanya jamet tuh istilah buat cowok nggak sih? Nah, gue nggak suka. Tapi gue ini jamet versi cewek asal lo tahu." Aku tergelak karena melihat dia yang refleks menilaiku dari atas kebawah dengan cepat. "Bukan melulu soal pakaian dong, Boss! Pakaian gue mungkin oke di mata lo, tapi akhlak gue?" Aku tersenyum masam. "Buat gue, elo tuh punya jiwa semacam bangsawan, teratur, terdidik, oke punya, gue jiwa jamet. Maap banget."

"Itu bikinan kamu sendiri?"

"Istilah dua karakter kita?"

Kepalanya mengangguk.

"Iya." Aku nyengir.

"Sip."

"Sip gimanaaaaa? Lo nggak apa-apa sama cewek alay dan jamet kelakuannya?"

"Nggak apa-apa."

"Bagus deh! Kalau looks sih, gue kayaknya nggak malu-maluin, kan, ya?"

"Iya."

Aku terbahak mendengar kejujurannya. 'Iya' katanya coba. Ck, cowok ini memang diluar jangkauanku cara berpikir dan tindakannya. "Gue mau beli gelang couple itu lho, Ki! Jangan kira meski ini masih coba-coba lo boleh ya bikin grup audisi." Tawa kecilnya muncul, lucu banget nih makhluk. "Terus nanti mana yang failed, lo remove. Enak aja. Gue custom nama U T H I, gelangnya warna item. Harus lo pake."

"Di sini?" tanyanya sambil nunjuk sebelah tangan kanannya yang di atas setir.

"Iya."

"Okay. Kamu pake juga, kan?"

"Enggaklah, lo doang."

"Kok gitu?"

"Kenapa kok gitu?" Aku mengibaskan tangan. "Bercanda, Ki .... Iya nanti gue custom nama lo di sini. Nama lengkap boleh."

Dia menoleh, tersenyum. "Sip. Kamu suka naik wahana gitu nggak?"

"Wahana apa?"

"Macem-macem," katanya. "Kayak dufan gitu misalnya. Atau ada tuh pasar malem yang wahananya lumayan, bisa jajan-jajan gitu. Kata Mbak Anggun kamu suka jajan." Fyi, Mbak Anggun itu maksudnya Bundaku, ya! "Nggak termasuk Chiki Ball sih," lirihnya dengan menggemaskan.

"Lo mau ajak gue naik wahana?"

"Kalau kamu mau."

"Mau aja. Kapan?"

"Kamu mau dan bisanya kapan?"

Aku berpikir sebentar, menimbang-nimbang waktuku gimana ke depannya. Maksudku, kehidupanku sekarang kan sebagai baby sitter ini full time. Sisanya ya buat gabut bareng teman-teman di luar rumah. Nah ini aku ceritanya sudah punya pacar, artinya gimana nih? Gabut sama teman dikurangi dan fokus sama Saki gitu? Tapi nih anak juga seru, meski diam gitu, aku nggak ngerasa bosan sama sekali dari awal. Meski sempat sebel karena dia tiba-tiba datang ke rumah.

"Ummmm, weekend?" tanyaku ragu. "Nih ya, meski gue keliatan pengangguran, waktu gue nggak banyak sebenernya. Gue momong dua krucil. Oh atau malem bisa sih, kan, pasar malem."

"Aku sebenernya mau kok ajak King dan Queen, tapi pasar malam atau dufan belum aman ya buat seusia merek."

"Yang satu masih bayi banget masalahnya."

"Iya," katanya.

"Nanti gue kabarin deh, Ki. itu gunanya hape, kan?" Sekalian menyindirnya ini aku. "Buat komunikasi kalau nggak memungkinkan ngobrol langsung."

"Iya."

"Eh betewe, lo tuh hubungannya sama Bunda gimana, sih?"

"Kurang tau, ya. Kayaknya .... Anaknya dari adik ibu tuh nikah sama sepupunya Mbak Anggun." Dia noleh, meringis. "Maaf, bingungin."

Aku tertawa. "Yaudahlah, nggak usah dipikirin. Eh belok kanan, Ki! Aduh sori, restonya tadi ke arah sana. Ih gue belum bilang, ya?"

"Nggak apa-apa, nanti cari puter balik."

Aku tandain nih, karena masih baru dia bilang nggak apa-apa. Nanti kalau sudah lama, bisa-bisa adu jotos kita. "Ohya, Ki."

"Hm?"

"Gue nggak menerima, ya, alasan apapun lo flirting sama cewek kecuali memang sebagai teman dan sebagai manusia. Gue sunat lo, beneran." Aku melihat jakunnya bergerak, dia terlihat menelan ludah. "Lo kalau mau coba ini sama gue, jangan setengah-setengah. Gue mungkin sinting, dan gue kasih waktu lo sekarang kalau mau mundur." Random banget memang ancamanku ini. Tapi, aku baru kepikiran dan kurasa ini penting. "Jadi gimana? Mau tetep lanjut atau udahan?"

"Nggak apa-apa."

Aku menatapnya ngeri. "Tahan banting lo, ya."

Dia tertawa pelan. "Kita kan nggak tau sebelum dijalani."

Benar juga.



---

brb nyari cowok kayak Saki.

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang