CHAPTER 12

3.8K 994 68
                                    

Pernah ketipu sama pikiranmu sendiri?

Aku sering dan herannya nggak pernah kapok gitu. Sekarang contohnya, entah kenapa tadi aku sempat merasa aku dan Ami—Amira, pacarnya Al—bagaikan surga dan neraka, seolah dia akan menatapku mengerikan tet tot tet tot lainnya. Nyata, dia baik banget! Bukan cuma baik, tatapan dan tutur katanya memang seadem pakaiannya. Sementara Al, yep, tidak seperti dugaanku yang berpikir dia berbeda dengan Saki. Nyatanya, dia sama 'pendiam'-nya dengan Saki. Ya, meski kembar, aku berharap dia menyongsong sikap bad boy yang suka ngomong dan flirting abis itu, lho! Ditambah, dukungan outfit-nya.

Eh aku salah lagi.

"Kamu nggak tau gimana happy-nya aku waktu Al bilang mau double date sama pacarnya Saki. aku langsung doa semoga pacarnya Saki nggak pendiem juga, biar aku ada temennya. Allah baik banget!"

Dia lucu banget.

Aku nggak bisa berhenti sejak kami ngobrol tadi. Kusodorkan tanganku untuk tos. "We're a team, Mi."

Kepalanya mengangguk. "Kamu tau nggak, kalau Al lagi nggak bisa dihubungi, aku, kan, tanya Saki, ya. Jawabannya pasti template; silakan tanya Mamaku, Mi. Maksudku, kan kita seumuran dan lebih santai nggak sih, Thi? Masa chat Mamanya nanyain pacar."

Aku tergelak. "Setuju. Aku dukung kamu seratus persen." Aku buru-buru menoleh ke Saki. "Tahu, kan, kenapa gue masih belum bisa berani main ke rumah lo? Tuh, Ami sesama cewek baru paham rasanya."

Saki tersenyum malu-malu. "Iya, sekarang kamu punya temen."

"Gimana skripsimu, Thi?"

Aduh, Al!

Aku menatapnya awkward. Mau marah tapi dia bukan Saki yang bisa bebas kumarahi. Aku tahu kamu pendiam juga, tapi kalau pertanyaanmu tentang skripsi, boleh eggak diam aja? Hehe, aku tersenyum. "Progress. Kerjaanmu gimana?"

Dia tersenyum, baru mirip Saki kalau lagi senyum. "Ya gitu-gitu aja. Kalau lagi mau ke perpus ajak Ami aja, Thi."

"Oh kamu masih skripsian juga, Mi?" tanyaku antusias.

"Aku langsung lanjut S2, Thi." Mati kau! "Bingung mau ngapain. Tapi kata Al, banyak yang jadiin S2 pelarian dan nyesel. Ih takut deh."

Kenapa orang-orang di sekitarku pada pintar-pintar, sih???? Apa hanya aku yang—aku menoleh saat merasakan Saki mengelus tanganku yang kuletakkan di atas paha. Ya amplop, dia memberiku kekuatan. Aku menatap Ami bangga. "Keren banget kamu, Mi." Kuberi dia senyuman paling yahud deh. "Nyesel yang penting semangat beresin mah nggak apa-apa. Jangan kayak aku nih, males banget ya Allah ngelarin skripsi."

"Semangat kok. Siapa dulu dong support system-nya." Dia melirik Al, memeluk lengan lelaki itu sambil tersenyum manis. "Makasih, ya, Sayang." Ia kembali menatapku. "Kamu nanti bakalan semangat juga kok, kan sekarang udah ada Saki."

Aku meringis.

Jangan menoleh ke Saki, jangan. Yang ada malah canggung maksimal. Karena seingatku, aku dan dia belum ada di posisi kayak gitu. Gelendotan, apalagi panggilan sayang-sayangan. Apa Saki yang terlalu dingin dan diam atau aku yang memang kaku dan gersang? Entahlah!

Kami melanjutkan makan, kemudian masuk ke funworld, mencoba beberapa permainan, dan berakhir di photobox yang katanya sih dari Jepang. Kami bergantian berpose, pasang-pasangan. Siapa yang heboh kelihatan dari hasil foto? Ofkors aku dan Ami, Saki dan Al gayangnya udah mentok. Senyum, tangannya di kepala kami, atau acungin jempol. Nah, sekarang ide Ami nih, kami foto berempat dengan agak maksa alias desak-desakan. Untung badan kami nggak ada yang bongsor. Tapi tetap aja, ada dua laki-laki.

"Bagusan yang mana, Sayang?"

Kami sedang menikmati es krim dan duduk di foodcourt. Ini aku yakin sih, Al dan Ami akan sadar betapa aku dan Saki masih menjaga jarak. Aku juga bingung sama diriku sendiri. Kalau sedang berdua aja, aku bisa heri banget nih alias heboh sendiri. Tapi, ada mereka kok malah jadi kayak korban perjodohan Siti Nurbaya. Apa karena lihat Ami dan Al yang adem banget kayak pasangan beneran? Aku jadi ki—

"Thi, kamu posting yang mana? Aku yang ini." Dia menunjukkan hape-nya itu, ternyata dia moto hasil foto-foto kami tadi, dipegang jari lentiknya dan jari Al. ada fotoku dan Saki juga. Aku cuma bisa meringis dalam hati pas baca caption-nya; finally, bisa double-date sama kembarannya ayang. So happy punya team buat lawan duo pendiem hihi🖤🖤🖤 "Aku boleh follow dan tag IG kamu?"

"Oh boleh-boleh." Aku menerima hape-nya, mengetikkan username-ku di kolom caption dia. Saat aku melihat sebuah postingan yang nge-tag aku, aku melihat ada tambahan di caption sebelum namaku; happy bisa kenal gadis manis, ceria, dan lucu kayak kamu, Uthi.

Aku menekan love untuk postingan-nya dan sekarang melirik Saki. apa aku juga harus posting hal yang sama? Bukannya aku malu atau gimana. Gemblung apa kalau malu punya pacar kayak Saki, dari fisik dan sikap. Ditambah kembarannya dan Ami, semua good looking di mataku. Tapi, ini bukan soal itu. Tapi lebih ke ... ini aku dan Saki beneran? Kalau aku posting di Instagram, itu sama aja aku kasih pengumuman ke dunia tentang hubungan kami. Teman-temanku, semuanya. Terus nanti ... kalau nggak lama kami bubaran gimana?

"Aku sama Uthi lebih suka diskusi dulu sebelum posting. Kita lumayan picky, karena masih baru." Ya amplop, Saki memang terbaik. Dalam segala hal. Dia tersenyum menatapku. "Nggak pa-pa, aku tau kamu milih bahan posting butuh waktu."

"Oh okay, okay," kata Ami. "Aku tipe yang nggak sabaran buat posting, Thi." Dia ngikik. "Al iya-iya aja lagi."

Al mendorong lengan Saki. "Gaya lo diskusi segala."

Saki mengedikkan bahu dan menjawab, "Gue sama lo, kan, beda."

Hari itu, kami lanjutkan dengan jalan-jalan lagi. Makan lagi, ngopi, dan banyak hal. Aku nggak menyesali hari ini, sama sekali. Aku cuma bertanya-tanya sama diriku sendiri, apa yang kuinginkan dan aku rencanakan untuk hubunganku sama Saki ini? Aku memang nggak ada niat buat menyudahi, tapi—

"Nanti kalau Al ada waktu lagi, kita double-date ke museum, yuk gaes?" Ami dengan ide cemerlangnya soal pacaran. "Ke Museum Nasional, ada pameran Imersif gituuu, lucu banget aku liat di TikTok."

"Ummmm, nanti—"

Aku menginterupsi Saki. "Boleh banget, Mi. Salah satu wishlist aku tuh." Aku tahu Saki menatapku kebingungan, tetapi aku memutuskan buat mencoba lagi, dan ... Saki berhak dapat kepercayaan itu. Aku menoleh menatap yang katanya pacarku ini dan nyengir, kemudian aku meraih lengannya, menatapnya dan bilang. "Kamu mau, kan, By?"

Semoga setelah ngomong itu, aku nggak pingsan di sini karena nahan rasa malu.

Doaku juga buat Saki, karena dia kelihatan berubah jadi patung.




---

istighfar, thi

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang