EPILOG

8.4K 768 194
                                    

Aku nangis bukan karena apa kok, Ki, memang sih ini snack rasanya nggak enak, tapi gini doang nggak akan bikin aku nangis sambil memakannya. Aku bisa aja lempar dia sejauh mungkin, kan? Aku cuma lagi kangen kamu, pengen coba tahu perasaanmu tiap mengunyah makanan ini kayak apa. Ternyata ... rasanya pahit. Ngunyah campur air mata bikin nih makanan makin-makin pengen aku musnahin dari dunia. Kok kamu bisa secinta itu sama makanan ini, sih, Ki?

Aku mengelap mataku kasar, menatap bungkus kuning di tanganku yang sebenarnya menarik mata. Walaupun aku nggak suka makanan ini, tapi mulai sekarang, rasanya pasti beda setiap lihat dia. Rasanya pasti spesial karena akan keinget kamu, Ki, Brand Ambassador terbaiknya.

Ki, mungkin nanti, aku bisa ikutan menikmati Chiki Balls favorit kamu ini, selayaknya gimana kamu menyukainya.

Ki ...

Aku mau kok belajar suka sama nih jajanan, kamu nggak mau nyaksiinnya langsung?

Ki ...

Aku nggak tahu, hidupku yang dulu keren karena ada dua bab, di dalam rumah dan luar rumah, ternyata berubah menjadi satu kesatuan yang menyenangkan sejak ada kamu. Layer-layernya makin banyak dan semuanya aku nikmati dan syukuri. Sekarang, rasanya aneh, dan aku nggak tahu akan jadi gimana. Terbagi menjadi berapa keping.

Aku ngerasa ... everything is pointless, sekarang ini. Kamu bikin aku berubah lebih baik dalam banyak hal, Ki, kamu harus tahu itu. Hidupku jadi berwarna dan indah.

"Masih nyari ketenangan dari langit?"

Suara itu terdengar sedikit familiar, tetapi aku tidak ya—Oh, there he is. Goga. Kembali dari goa persembunyiannya. Tak ada yang berubah darinya, toh kami juga belum berpisah seabad lamanya. Yang berbeda hanya pakaian olahraganya daripada kali pertama kami bertemu, di sini. Aku ingat dia waktu itu pakai serba hitam, hari ini bajunya putih meski celananya tetap sama hitam.

"Masih idup lo." Aku tertawa pelan. Memastikan kembali air mataku tidak nampak di mata atau wajahku.

"It's been a tough year. How are you, Thi?"

Aku tertawa miris, memandangi snack di tanganku. Aku bahkan nggak tahu harus menjelaskan apa kalau ditanya kabar oleh orang lain. Baik-baik aja kah? Atau jawab ditinggal mati pacar? Oh, bukan cuma pacaran, dia satu-satunya sahabat yang kupunya di tengah banyaknya orang yang kukenal. Support system terbaik. Guru terbaik. Partner diskusi terbaik. Pacar terbaik.

Tapi, aku tetap berusaha senyum dan menatapnya. "I'm hangin in. Thanks for asking. Lo gimana?"

Dia tak langsung menjawab, menatapku beberapa detik—ini karena aku berduka, makanya tatapannya seolah ketularan, padahal dia jelas nggak tahu aku kenapa—kemudian menatap kilat snack di tanganku. "I'm really sorry for your loss."

Dia tahu?

Aku tersenyum tipis, mengangguk.

"Sam yang bilang."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Aku memang mengirimkan berita duka ini kepada grup yang kupunya. Saat itu, yang kupikirkan adalah aku mau sebanyak mungkin orang mendoakan Saki. Kenal atau tidak, entah dikabulkan Tuhan atau tidak, aku cuma bisa berusaha. Goga adalah temannya Sam, meski kami tidak berhubungan lagi—Goga dan aku—tapi mungkin mereka sesekali masih.

Aku meliriknya. "Thanks."

Dunia ini memang lucu. Aku berharap Goga tidak pergi dan melanjutkan pertemanan atau perkenalan kami, tetapi yang datang malah Saki. Saat aku sudah merasa Saki adalah bagian dariku, dia malah gantian pergi dengan cara yang sama sekali tidak bisa ditebak, kemudian manusia ini datang kembali.

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang