CHAPTER 25

4K 860 85
                                    

"Cie yang udah mau wisuda, bakalan officially sarjana!"

Saki tertawa pelan, menggaruk kepala belakang, apa pun yang dilakukan anak ini persis bayi, semuanya menggemaskan maksimal. Kayaknya aku aja yang kurang hiburan atau malah kebanyakan—dapat semua itu dari Abang dan Adek—jadi bahkan melihat Saki seperti bagian dari usia King dan Queen. OMG, aku nggak suka ngobrolin topik ini karena tiba-tiba merasa menjadi musuh dan bumi sebagai manusia dewasa kotor yang meromantisasi hubungan dengan anak kecil.

Enak aja, Saki sudah sangat besar, cuma memang level menggemaskannya beda denganku, dengan Papa, dengan Al, dengan Ami, dengan kami semuanya deh.

Saki yang paling best.

"Kamu nggak pa-pa, kan, Sayang?"

Aku yang lagi asyik ngemutin duri lele jadi terdistraksi, menoleh ke Saki dan ternyata doi ... ofkors natap aku, apa yang kamu harapkan? Aku tak menjawabnya berupa kata-kata, tapi ekspresi yang kalau dia paham, artinya dalah; kamu nanya nggak pa-pa tuh konteksnya apa, Ki? Mendadak dan tanpa bridging apalah.

When I say he's smart, then he is. Dia paham maksud dari tatapanku, ekspresi yang kebingungan dengan maksud kalimatnya, pertanyaannya. Dia ulang lagi deh, kasih penjelasan. "Aku mau wisuda, are you okay with that?"

"Ki????" Aku beneran mulai kehilangan kewarasan dengan pertanyaannya kali ini. Seketika lele di tanganku kembali tergeletak di piring. Tapi aku belum segila itu untuk ngamuk di tempat pecel lele di pinggir jalan ini. "Maksud okay dan nggak okay kamu tuh apaaa???"

"Kamu sensitif soal skripsi dan perintilannya, jadi aku takutnya—"

"Ya Allah!" seruku refleks dan langsung melotot untuk Saki. "Please, ofkors aku okaaayyyy! I'm soooo happy for you! Ya kaliiii, kamu kuliah mati-matian, ngerjain skripsi mungkin siang dan malem, sidang dibantai ... well, mungkin." Aku meringis. "Terus tau kamu lagi siapin wisuda, aku nggak happy cuma karena aku—ummmm fine." Aku sepertinya paham sekarang. Aku mengembuskan napas, membenarkan posisi tubuhku agar duduk tegap, dan menatap Saki. "Aku paham, selama ini aku suka bete dan baper liat orang yang skripsinya lancar, denger orang abis sidang aku emang suka tantrum abis ya karena mau jugaaa. Tapi bukan berarti aku nggak happy lah, sintiiing apa akunya." Aku mengerang tertahan, nyaris frustasi. Sementara nih anak malah senyam-senyum. "Apalagi ini kamuuuuu, kamu yang wisuda, sayangku, cintaku. Cieeeee."

Dia mengibaskan tangannya di depan wajah, tapi aku tetap bisa melihat wajahnya salting brutal dan ofkors memerah. Aku gigit nih!

Aku kembali menghadap piring berisi nasi uduk dan lele—coba ini bayanin, malam-malam makan begonia, ngakunya generasi cerdas, sehat dan produktif—dan mulai menikmatinya lagi. Tapi aku masih mau ajak ngobrol Saki tentang yang tadi itu, wisuda dia. "Lagian, ya, Ki." By the way, dia kayaknya sudah pasrah deh dengan panggilanku untuknya. Habis mulut ini kaku sekali dan bebal buat panggil sayang. Padahal, aku tuh ingat, lho. "Aku seneng tau kamu wisuda. Mau tau kenapa?"

"Mau," jawabnya pelan.

Saat aku meliriknya, dia berhenti lagi mengunyah—itu kapan selesainya makan boss? Kalau dikit-dikit berhenti tiap lihat aku ngomong. Sambil makan, kan, bisa kayak aku? Multitalenta nih! "Karena artinya kamu akan selesai tuh urusan sama perkuliahan, beneran bye selamanyaaa!" Aku tertawa geli. "Teruuuusss, jadi makin bisa deh fokus sama keluh-kesah skripsi aku, babies sitting duties aku, daaaaan drama aku bersama teman-temanku." Aku mendengar dia tertawa pelan. "Kamu nggak burnout, Ki?"

"Kenapa?"

"Katanya, kita tuh harus jauhin orang yang kasih kita vibes negatif tahu. Kamu kan banyak aku kasih drama, keluh kesah, energi kamu nggak ikutan abis?"

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang