CHAPTER 24

3.8K 885 149
                                    

Siapa orang paling nekat di dunia ini—untuk sekarang?

Alsaki Lakshan.

Nih orang memang di luar biasa atau standar manusia pada umumnya, khususnya buat ukurang orang-orang yang lagi pacaran. Minimal kalau ceweknya sudah bete dan memutuskan pulang ke rumah, terus di rumah cewekmu itu ada keluarganya, ya kamu nggak usah nyusul lah. Putar balik dong, atau apalah, berusaha menghubungi lewat chat, telepon atau apa yang yaaa ... walaupun belum tentu diangkat.

Tapi maksudnya jangan nekat tetap datang ke rumah dan malah bilang ke Papa-Bunda kalau aku salah paha dan dia mau menjelaskan semuanya sampai clear.

Saki tuh beneran menggambarkan apa yang dimaksud sama Bapak Sigmund Freud dalam teori Gunung Es bahwa manusia ya sama seperti gunung es, ada bagian yang terlihat dan ada bagian yang lebih besar dan itu tidak terlihat.

Kemarin-kemarin aku kalang kabut mencari apa kekurangan Saki. Dia sopan, sweet, pintar, royal, baik, nggak neko-neko—pinjam kalimat Papa dan Bunda—sampai rasanya beneran too good to be true. Tahu sendiri, kan, kalau sesuatu itu terlalu baik ya artinya malah nggak baik. There's something wrong—walau aku nggak tahu bisa bebas bilang ini salah atau engga. Tapi diam-diam menemui dosenku dan menceritakan aku di depannya?

Aku rasa semua orang setuju Saki melewati batas kali ini.

Aku masih bersedekap, duduk di pojokan sofa, tidak berniat untuk menatap Saki sama sekali. Tadi Bunda yang memanggilku ke kamar dan memintaku untuk turun menemui Saki, katanya sih itu juga pesan Papa. Saat aku turun, mereka sudah tidak ada, cuma Saki yang duduk di ruang tamu ini.

Ini aku cuma deg-degan apa yang akan terjadi sama kita berdua nih. Takut aku kehilangan kontrol, mengamuk dengan mencakar Saki misalnya. Lalu nanti Papa-Bunda mengetahui itu dari CCTV. Atau aku tidak mampu menahan diri dan berteriak pada Saki.

Aduh, ini bisa nggak sih aku langsung pingsan aja yang lama sampai Saki pulang ke rumahnya? Aku beneran nggak siap dengan apa pun obrolan kami nanti. Tidak siap juga dengan resiko nantinya.

"Aku beneran minta ma—"

"Kamu tahu kamu salahnya di mana?" Tuh, kan! Belum aja Saki selesai dengan kalimatnya, tapi emosiku sudah memuncak bahkan cuma dengan suaranya aja, lho! Ummmm, ini tanda tidak baik, kan, ya? Jadi, harusnya aku meminta anak ini pulang aja nggak sih ketimbang nanti tiba-tiba aku telan dia? Tapi, aku juga pengen ngomel. "Gue nggak mau ya, lo asal minta maaf yang penting kelar dan selesai sementara lo sendiri nggak tahu salah lo di mana." OMG, ofkors aku tahu kalau matanya tadi membeliak karena penggunaan 'gue' di kalimatku. Biarin, I meant it kok.

Tapi dia nggak protes secara vokal, dia merespons kalimatku. "Aku tahu,' lirihnya. Sekarang aku sudah mau berhadapan walau sofa kami berseberangan, setidaknya aku mau saling tatap lah. "Aku udah ngelewatin batas dengan nyamperin Pak Budi, and I'm really sorry."

Aku sudah lelah dan ngeri sendiri mendengar kalimat itu lagi. "Coba deh lo denger lagi kalimat lo, lo nemuin Pak Budi. Bahkan cuma dibayangin aja tuh itu udah salah dan berlebihan, lo tau itu, kan?"

Kepalanya mengangguk.

"Lo nggak suka pake gue-elo karena nggak keliatan serius, gue coba pahami dan ikutin. Lo nggak suka panggil nama dalam hubungan. I'm working on it, Ki. Keliatan nggak sih usaha gue buat terlibat penuh di hubungan ini? I knooow, gue super random dan mungkin ngeselin dan ... cara gue beda sama lo, tapi lo bisa apa nggak gue coba buat ngikutin biar ini berhasil? Nggak kelihatan, ya?"

"Kelihatan. Kelihatan, Sayang. Aku ... aku minta maaf."

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kasar. Lalu aku menatapnya lagi dan siap untuk memberinya kalimat panjang, seharian deh kalau perlu dia di sini dan harus mendengar semua yang ada di kepalaku. Kalau waktunya cukup ini dunia. "Lo tahu, kan, gue udah ceritain soal Pak Budi ke Papa. Lo tau dia bilang apa, kan? Kalau-kalau lo lupa, let me remind you. Dia bilang gue nggak pa-pa ikutin dulu maunya Pak Budi, respon seperlunya yang berhubungan sama skripsi, di luar itu, biarin. Kalau nanti udah kelewat batas, baru ditindaklanjuti. Lo tau itu artinya apa?" Aku memberinya waktu untuk menjawab, tetapi Saki cuma diam. Syukurnya dia masih mau menatapku, memasang ekspresi sangat bersalah dan matanya itu ... jangan sampai ini aku malah kasihan di kondisi lagi marah. Cowok emang paling bisa, selain lebay kalau sakit, juga lebay kalau pas dimarahin gini. "Dia percaya gue, dia percaya gue bisa handle ini. Apakah artinya bokap gue nggak sayang sama gue dan nggak peduli? Nope, tapi dia mau gue hadapi ini sendiri walaupun gue yakin dia juga siap 24 jam buat bantai Pak Budi kalau memang dosen itu aneh-aneh. Dia bokap gue, Ki, nama kita ada di satu KK dan kalau ngomongin siapa yang paling berhak buat nemuin Pak Budi dan ceritain semua hidup gue, itu Papa."

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang