CHAPTER 27

3.7K 863 228
                                    

"Gimana sejauh ini kehidupanmu, Sayang? Udah lama kita nggak ngumpul keluarga di weekend gini."

Aku tertawa pelan. "Iyaa, kalau Bunda dan Papa kerja, aku di rumah sama Abang dan Adek, kalau kalian di rumah, aku yang keluar sama Saki atau temen." Aku mengembuskan napas. "Rasanya ... nano-nano, kerasa kayak hidup normal. Iya, kan?"

Aku mendengar mereka tertawa.

"Aku belum pernah bilang ini secara langsung kayaknya yaaa?" Aku menatap Bunda dan Papa bergantian, serius banget, dengan tatapan penuh haru—menurutku, tapi aku nggak tahu pasti gimana ekspresi di mata orang lain. "Aku makasih banyaaaak, banyaak banget sama Bunda dan Papa, karena udah ngenalin aku ke Saki." Ummmm, sebenarnya agak malu sih, tapi aku belajar satu hal dari Saki terakhir ketemu itu, kalau aku tidak boleh jadi orang tidak tahu diri. "Ini perjodohan yang muaaniisss." Kami sama-sama tertawa. "Dia beneran kayak anak ponpes, deh, serius."

"Kamu yang anak swasta banget ya?" celetuk Papa, membuatku ofkors melotot.

"Ih Papa hayooooo, blunder tuh." Aku meledeknya. "Sama aja kayak lagi labelin anak swasta nakal, kalau anak ponpes baik kayak Saki, kan?"

"Itu kamu yang deskripsiin, Papa nggak bilang gitu."

"Emang kamu nakal, Uthi?" Bunda menyipitkan mata, aku tahu dia sedang menggodaku kali ini. Keceplosan deh aku tadi. "Kayaknya enggak, deh. Idola Abang dan Adek nggak nakal kok. Eh tapi nakalnya ini konteksnya gimana sih, Pa?" Bunda meminta penjelasan pada suaminya.

Aku cuma bisa meringis.

Beneran salah langkah, ya amplop!

"Coba Uthi yang jelasin, dia yang pake kata nakal." Papa terlihat sangat berusaha menahan senyum. Mukanya nyebelin banget euy! "Kasih tahu kita, Uthi, goo goo!" Dia bahkan bertepuk tangan, seolah aku akan berlomba 17-an. "Eh Abang, jangan ke situ! Sekitar sini aja, yaaa."

"Robotnya terbang ke sana." Abang menunjuk area yang dilarang. Kemudian Papa turun dari kursi, berjalan mengambilkan robot dan menyerahkannya pada Abang. "Thanks, Papa."

Papa mengelus kepala Abang, tersenyum, dan kembali bersamaku dan Bunda. Jadi, ini ceritanya kami lagi family time. Tidak ada yang beraktivitas keluar rumah, terutama aku. Adek masih di pangkuan Bunda, aku duduk di sebelah Bunda, Papa sendirian. Kami lagi menikmati waktu di emperan belakang rumah.

"Lanjut, Uthi, ayooo."

Aku kira distraksi dari Abang tadi bikin Papa lupa, tapi semangatnya malah meningkat. Aku tahu banget nih, Bunda juga sudah siap menertawakanku. Nasib selalu kebagian jebakan. Sekalian aja kayak Abang dan Adik, belum ngerti apa-apa.

"Sumpah." Aku mengangkat kedua tangan. "Aku nggak ngapa-ngapain, Papa sama Bunda bisa tanya Saki, dia pasti jujur. Aku cuma lakuin hal normal, pasti kayak Papa dan Bunda dulu waktu pacaran gimana."

"Gimana tuh?" Papa kembali menyerang.

Aku menatap Bunda meminta pertolongan. Bunda tertawa. "Udah, Mas. Kamu nih seneng banget ngusilin anak."

"Lho ini nanya namanya. Siapa tau Uthi butuh ide lain."

Ide lain apaaaaa?

Buat pacaran?

Ya kali, Pa!

"Kamu kalau kebablasan sampe yang satu itu, Thi, Papa beneran kirim kamu dan Saki ke pondok pesantren paling ketat." Mendengarnya aja sudah bikin meringis ngeri. "Papa bisa yakinin ortunya Saki buat setuju. Terlalu gampang. Jadi, inget baik-baik. Jaga diri. Papa yakin Saki juga didik buat jaga dirinya, nggak ngerugiin orang lain. Tapi kamu jelas tau gimana nggak adilnya dunia sama perempuan, kan?"

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang