CHAPTER 21.1

4.2K 928 147
                                    

"Mau liat aja sih dia seoke apa, karena gue kira lo abis jadian langsung ngilang. Kalau lo aneh, gue bisa unfollow, Thi. kalian berantem gara-gara—oh damn! Jangan bilang gara-gara story gue yang ada elonya?" Sam menatapku ketakutan. "Lek, dia ... toxic? Posesif gitu, hah?"

Aku tadi cuma tanya sekali, apa Sam saling follow dengan Saki, sudah itu aja. Tapi anak ini panjang ke mana-mana, dan ternyata dia memang tidak bodoh gitu, lho. Ujungnya sampai juga ke titik permasalahan, walau nggak sepenuhnya benar sih, permisa. Ummmm, dibanding Sam yang kelihatan panik-entah-merasa-bersalah-atau-apa-sih-itu, si Sherin malah melongo aja, mentapak aku dan Sam gantian. Saking paniknya juga kali, ya, bedanya doi kehilangan kemampuan ngomong.

Daripada nih dua temanku seketika tekanan darahnya naik, aku langsung berusaha menetralkan keadaan, membersihkan situasi. "Guys!" seruku sambil bertepuk tangan. "Take a deep breath, kalau nggak mau lo embusin juga nggak pa-pa sih."

"Jingan," lirih Sherin, kemudian menggeleng. "Astagfirullah. Lo kenapa sih? Jangan bikin orang jantungan deh, Thi."

"Tau nih orang."

Aku nyengir, mengibaskan rambut sambil memasang wajah-wajah ganjen menyebalkan, ofkors aku tahu! Saat Sam dan Sherin sudah terlihat sangat muak, barulah aku tertawa kencang dan bilang, "Ini sebenernya tolol sih, tapi jujur gue nggak tahu, jadi harusnya motif gue clear ya alias innocent, soalnya nggak direncanain gi—"

"Lo kalau mau ke Singapur, nggak usah lah perpanjang VISA US dan beli tiket ke US dulu, Thi. Langsung aja ke Singapur."

Tebak siapa yang ngomong lengkap dengan ekspresi yang terlihat sudah sangat muak? Ya Sam dong! Siapa lagi manusia kepoan maksimal dan sangat membaur dengan mudah bareng kami ciwi-ciwi.

"Lo tahu kan, nggak ada yang suka sama orang yang mempersulit orang lain? Mau dari sisi moral, agama, atau hukum negara?"

Aku memutar bola mata.

Aku memang nggak pernah setuju dari awal kalimat Papa—yang kayaknya disetujui Saki deh—kalau teman-temanku tertular nggak warasnya. Menurutku sih terbalik, ini tuh aku yang terjebak di antara manusia-manusia lebay. Ummm, okay fine, aku tetap sayang mereka, dan seru, sih. Kadang.

"Jadi tuh ada detail yang belum gue ceritain."

"Udah gue duga!" Sam melotot. "Rin, emang cuma kita yang anggep dia tuh deket, dia mah anggep kita ya temen hangout doang. Lo nggak pernah gue bilang nih anak grupnya banyak, coba aja besok tanya, nama lo juga dia lupa."

"Gue yang tanya nama gue siapa? Coba?" Aku menatap Sam tajam. "Cepetan, siapa nama gue, nggak usah lengkap deh, nama depan gue siapa. Kalau nggak bisa jawab, gue bawa ke RS, sunat lo."

"Njiiiir." Dia meringis. "Iyaaa, maaaf. Yaudah buruan cerita."

"Makanya kasih gue waktu buat ngomong!"

"Astagfirullah, ya Allah!" Sherin mengusap wajahnya gusar. "Ini bisa nggak sih nggak ribut? Jangan sampe ya tiba-tiba ada fyp isinya orang videoin kita."

Sam mingkem.

Aku tersenyum culas. "Jadi, ini asumsi sih, Pak Budi tuh duda."

"WHAT?" Dia yang bilang takut divideoin orang, sekarang dia yang heboh terus langsung menutup mulutnya. "Kayaknya gue tau arahnya deh."

"Serius?" tanyaku agak lega karena akhirnya ada yang akan paham posisi.

"Ini apa sih?" Ofkors Sam nggak termasuk.

"Pak Budi ngelakuin hal-hal atau omongan yang bikin nggak nyaman." Sherin meringis. "Am I right?"

"TEPAT SEKALI!" Aku mentapa Sam. "Lo nggak paham, ya? Gue saranin sih, mendingan nggak u—wait, lo harus paham sih, Sam, gue butuh sudut pandang cowok."

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang