CHAPTER 18.2

3.8K 1K 129
                                    

"Aku boleh buka ini nggak, Ki?"

"Boleh."

"Tapi kamu tau, kan, artinya apa?"

Kepalanya mengangguk.

"Apa?"

Kepalanya menoleh dan dia memberiku senyuman tipis—eh ini cuma mau make sure ya biar kamu nggak salah paham, senyum tipis Saki itu bukan tipe senyum sinis atau yang kelihatan terpaksa gitu, lho. Nope, mau dia senyum tipis pun, tetap terasa tulus dan manis. Ya mungkin karena ini testimoni dari pacarnya, kurang objektif, hehe—terus bilang, "Artinya kamu cuma akan ambil satu, digigit separo dan bilang udah."

Aku tergelak. Menggeram sendiri saking gemasnya. "Ya Allah, pacar aku kece maksimal, aku pasti dulunya pernah nyelametin dunia, makanya bisa dapetin kamu sekarang." Aku menyerongkan badan biar puas natap Saki. "Thank you for coming into my life." Aku melihat kepalanya langsung menoleh lagi, menatapku dalam diam.

Si paling love language-nya words of affirmation—ini aku ngarang sendiri sih, cocokologi dari dari interaksi kami selama ini.

"Thanks for giving me a chance," lirihnya. Setelah aku mengangguk sambil senyam-senyum menggelikan, kemudian tangan kirinya meraih tumblr dan memberikannya padaku. "Sebelum kamu keburu huek."

Aku nggak bisa nahan lagi suara tawaku.

I told you, he's the best at everything, kan?

Act of service-nya juga nggak ada lawan nih manusia satu. Aku tahu aku emang sinting dan ngeselin level maksimal. Setiap masuk mobil dia, bukan wangi parfum atau sosok Saki yang bikin aku semangat—oh easy, dua hal itu juga ofkors! Aku cuma lagi hiperbola, okaaay?—tapi snack kuning gonjreng yang selalu nangkring di dashboard. Tidak banyak memang sih, selalu cuma ada satu dan aku pastikan itu rutin diganti, karena kan sudah aku buka, terus nanti dia yang menghabiskan. Ummm, right, aku buka snack, aku ambil satu biji, kugigit dikit, nggak suka, aku jadi suapin ke mulutnya Saki sampai wadahnya kosong.

Seperti sekarang nih, aku lagi menyuapi anak bayi satu per satu. Sesekali kasih dia minum dari tumblr yang dia bawa—aku si gampang haus, tapi dia yang selalu bawa minum. Pokoknya kadang aku merasa Saki nih punya dua nyawa juga. Satu yang jiwa sok mengayominya itu bikin aku ngerasa; nih lakik gue umur berapa euy. Nyawa lainnya adalah seusia Abang, yang artinya ... aduh, malunya dia, salah tingkahnya dia, ketika mangap saat disuapin begini, persis balita deh.

"Aku boleh nanya sesuatu nggak, Ki?" Aku tertawa pelan, melihatnya buru-buru menelan si Balls itu. "Pelan-pelan, Manis."

Dia malah ikutan tertawa pelan. Mengelap mukanya dengan telapak tangan yang bebas. "Boleh. Mau tanya apa?"

"Aku pacar kamu yang keberapa siiiih?" Lah kenapa dia malah batuk-batuk? Pertanyaanku normal, kan? Bukan pertanyaan yang gimana-gimana? Aku nggak minta password M-banking dia atau nanya berapa limit saldonya. Pacar keberapa? Memangnya pertanyaan haram? Setelah membantunya minum, aku menepuk-nepuk pelan punggungnya dan dadanya, ini refleks, aku nggak tahu bagus apa enggak, maaf. "You okay?"

Dia mengangguk. "Sori, sori."

"Pertanyaanku—"

"No no no." Saki tertawa pelan, melirikku dengan wajah ... hidungnya merah karena keselek tadi. "Kita obrolin ini pulangnya mau nggak?"

Aku mengernyit bingung. Ini pertanyaanku beneran salah kah? "Why?"

"Aku takut ... nanti ada salah paham, kamu bete atau ... apalah." Apalah. "Kita mau ketemu temen-temen."

Aku tertawa. "You're right." Aku menggosok-gosok telapak tangan sambil menyipitkan mata menatapnya. "Terlihat sangat seru. Nggak sabar bahas topik itu nanti, romannya aku pacar ke seratus sembilan nih, sampe ditunda dulu obrolannya."

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang