CHAPTER 18.4

4K 971 163
                                    

"Mau ngomong di rumah atau sekarang aja, Dyuthi?"

"It's up to you, Ki. Aku sebenarnya lebih pengen nanya ... are you okay now? Tadi ... kamu agak ... Ummm, you know."

"Kebablasan, ya? I'm sorry."

Aku mengangguk. "Tapi aku paham sih, mungkin temen-temenmu tadi emang keterlaluan buatmu." Aku izin sebentar ketika mendengar denting notifikasi handphone dan ternyata Papa yang mengirimi pesan dan mengatakan kalau mereka sedang keluar rumah. Rumah kosong dong nih? Aku melirik Saki, menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya ngide sendiri. "Di rumahku lagi nggak ada orang, Ki."

Kepalanya seketika menoleh dan aku yakin banget tuh alisnya sempat mengerut, dia kenapa kebingungan?

Oh mati kau, mati aku!

"Oh, bukan bukan. Ini nggak ada hubungannya sama permasalahan CCTV dan segala apalah yang terlibat di topik itu." Aku ketawa geli sendiri, terus aku lihat Saki juga ketawa pelan. "Maksudku tadi, aku nggak mau kita ngobrol hal serius di jalan kayak gini, posisi kamu nyetir, lho. Nanti kenapa-napa. So yeah, aku nawarin buat ngobrol di rumah."

"Maaf, ya, tadi pikiran aku ke mana-mana."

"Ke mana sih emangnya, Om?"

Saki tertawa pelan, tatapannya ofkors masih fokus di jalanan, tapi tetap menjawab setiap omonganku kok. Tapi dia nggak jawab kali ini, cuma menggeleng sambil bibirnya berkedut, menahan senyum tuh.

Hibur dikit deh biar nggak tegang-tegang banget nih anak, kasian.

Aku menarik seatbelt-ku biar lebih longgar, terus mencondongkan tubuh ke arahnya, dan mengecup lama pipi—lebih ke rahangnya sih ini mah kayaknya. Seperti biasa, meski ini bukan sentuhan pertama kali—ya amplop, bahasaku sudah seolah-olah kayak kami pengantin baru korban perjodohan aja. Ew, malu-malu mau—tapi aku tahu dia menahan napas, kemudian menoleh kilat setelah aku menarik diri. "Ke sana nggak tadi termasuk pikiran ke mana-mananya kamu?"

Lihat tuh, jakunnya bergerak naik turun, mukanya sudah memerah kayak anak babi menggemaskan. Pink nggak sih? "Thank you," lirihnya.

"Buat kecupannya?"

"Semuanya. Makasih karena udah sabar tadi, udah dikasih kecupan juga. Nanti aku bales di rumah, ya."

Sekarang, aku yang terbahak-bahak, sementara Saki kelihatan kebingungan. "Pertama, kamu nyebut aku sabar karena apa? Nggak nge-reog tadi di sana ketemu temenmu, oh mantanmu apalah itu, terus dia mau main game siapa si paling paham Saki?" Aku tahu Saki mulai panik, dan kadang aku suka melihatnya kelabakan, lucu maksimal. "Terus Ica nilai outfit-ku dan modalku yang cuma harus seksi buat jadi tipe kamu? Terus ... entah fakta atau kebetulan aku dan Mira sama plek ketiplek? Jawabannya adalah ... menurutmu kenapa aku bisa inget itu semua?" Sekarang aku berbisik di telinganya. "Karena aku sinting, Ki, Papa bilang ke kamu aku nggak waras, kan? Kalau tadi kamu bilang aku sabar, karena aku mau bertindak kayak gitu. Tapi kalau menurutmu, aku akan tetap haha-hihi sama Mira dan Ica, nope, aku tetep nggak suka Mira meski dia luar biasa. Sesimpel karena dia mantanmu, nggak ada hubungan sama attitude atau apa."

Kepalanya mengangguk.

"Yang kedua ... kamu mau bales apa di rumah nanti?"

"Engg...gak."

"Cium aku?"

"Kamu sukanya nyium kah? Nggak pa-pa kok."

"Emang kamu nggak mau cium aku balik? Maunya dicium terus?"

"Kamu lebih suka gimana?"

Aku menarik diri, menyandarkan tubuh sambil tertawa lepas. Laki-laki ini uaneh tapi entah kenapa anehnya justru sangat menarik. Pertama, aku merasa ... kenapa dia seolah takut denganku? Apa aku kayak monster? Padahal, kan, enggak.

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang