CHAPTER 13

4.1K 976 110
                                    

Ummm ....

Ini gimana, ya, aku mau bikin narasi untuk hari ini? Soalnya, ini terasa terlalu ... mustahil untuk dijelaskan? Terlalu baik? Bikin curiga? Apa sih yang nggak dicurigain sama orang-orang yang hidup di zaman sekarang? Saking nih hidup sering sucks, jadi kalau ada kebaikan, bukannya disyukuri malah dicurigai, dipikirin banget tuh kira-kira keburukan apa yang bakalan datang.

Ya, itu aku.

Kalau kamu salah satu bagiannya juga, yaudah sama. Tapi kok bisa anyway? Hidup kamu sering sucks juga kah?

Ini aku punya pacar, paket komplit. Saking komplitnya, aku sampai bingung mencari-cari celahnya di mana. Karena ... nggak ada manusia yang sempurna, kan? Atau sebenarnya ... definisi sempurna aja yang selama ini salah kaprah? Ini Saki beneran sempurna atau memang aku yang tahunya manusia itu pada banyak kekurangannya? Jadi, ketika yang datang kekurangannya sedikit, langsung mikirnya sempurna dan dicurigai ... karena balik lagi, nggak ada orang sempurna.

Kalau dipikir-pikir, aku ngomong apa sih?

Dia, kan, sudah kerja, ya. Aku yang belum. Ini bukan weekend, artinya kehidupanku ya bersama adik-adikku. Tapi, tadi Saki datang pagi-pagi—memang nggak sempat ketemu Papa-Bunda sih—dan bilang kalau dia mau bantu aku ajak King dan Queen buat jalan-jalan pagi ke taman komplek.

Jadi, itu maksudku.

Dari tadi aku cuma bengong di sebelah stroller Queen, mandangin Saki yang lagi ketawa-tiwi sama King oper-operan bola kaki. Kadang tuh bola berubah fungsi jadi bola volley, bahkan basket. Dia nggak cuma bisa jadi apa aja buatku, tapi bisa mengubah satu benda untuk segala kebutuhan King.

Paham, kan, kenapa dari tadi aku melongo bego berusaha mencari kekurangannya?

Dia nggak tiba-tiba punya masa lalu sudah pernah menikah dulunya, kan? Misal, kenakalan remaja, hamilin anak orang dan nggak mau tanggung jawab? Terus nanti, saat sudah serius komitmen bareng aku, tiba-tiba muncul cewek yang menjadi korbannya.

Serius, aku nggak siap. Aku minta ampun.

Atau ... dia dan keluarganya penipu ulung? Bisnisnya bukan bisnis halal dan importir daging sapi itu cuma buat pagar? Apa yang dijual mereka sebenarnya bukan daging sapi, melainkan—

Rengekan Queen kayaknya tanda kalau pikiranku sudah beneran di luar garis batas. Aku menoleh, menatap adikku yang merengek sambil memainkan lidahnya. "Haus, ya? Bosen ditinggal ngelamun sama Uthi? Cayaaang, nih minum susunya." Seketika diam deh. "Tuh liat, Dek. Uthi lagi mantau calon kakak iparmu itu loh, masa iya ada orang sesempurna itu, nggak mungkin, kan? Apa mungkin? Oooopsss!" Aku menangkap bola yang—tak sengaja—mengarah ke arahku. "Tangkep, Buddy!" Aku melemparnya dan King terlihat berusaha keras menangkap balik.

"Good job, Dyuthi!"

Siapa yang bilang?

Jelas bukan King. Dia tidak pernah memanggilku dengan nama lengkap begitu. Oh, seumur-umur, nggak ada yang memanggilku begitu kecuali guru dan dosen karena mereka mengenali nama dari absen, bukan lewat kenalan kita, kan.

Setelah kupikir-pikir, nih Saki emang lagi getol banget mengeluarkan semua senjata yang dia punya nih. Kayaknya ya, di mata dia, aku masih kelihatan belum yakin sama ajakannya dalam hubungan ini, makanya dia mencari segala cara. Apa nih bocah beneran kena peletku, ya? Lucu amat.

Aktivitasnya seketika terhenti waktu alarm bunyi, yang kuduga ya alarm-nya Saki. Nah benar, kan. Dia merogoh saku celana, melihat layar mungkin buat matiin tuh alarm, kemudian main sekali lagi sama King, dan sekarang dia berjongkok di hadapan King. Aku beneran nguping percakapannya. Katanya:

"Hei, seru, ya mainnya?" Ofkors King ngangguk dengan senyum semringah. "Kakak Saki seneng juga main sama King." Yep, Kakak Saki nggak tuh. "Tapi, orang gede punya banyak urusan selain main, jadi kita udahin mainnya hari ini, ya?"

Adem amat euy!

"Nanti, kalau Kak Saki bisa, Kakak ajak Abang main lagi."

"Okay, Kakak. Makasih yaaaa."

Setelah mengantarku ke rumah bersama dua bocil, sekarang aku bisa ngobrol berdua dengan Saki sambil dia siap-siap pulang—Queens kuletakkan di box tidurnya, sementara King sedang bermain sambil kuminta mengawasi, karena aku juga nggak akan lama—. Mau memasang helm dan sekarang menatapku. "Aku kerja dulu, ya," katanya.

Senyumku geli banget. Dia malah kebingungan. "Lo udah kayak suami pamitan kerja."

Sudut bibirnya terangkat. Ia bahkan menutup wajahnya dengan lengan dan membuang muka. "Kan doa," jawabnya lirih. "Doa baik."

"Aamiin."

Dia menatapku serius. "Kamu beneran mau aminin kalau aku doa kita bisa jadi?"

Aku tertawa. Dia ini lucu banget sih! "Mau, Sakiiiiiii."

"Okay, Dyuthi. Aku—"

"Kenapa sih tiba-tiba kepikiran manggil nama lengkap? Nggak ada tuh orang lain yang manggil gitu?"

"Ya karena orang lain bukan pacarmu."

OH easy!

Aku kaget dikit tapi selebihnya fine, karena aku masih kepikiran dan mampu untuk godain balik makhluk menggemaskan yang kebetulan manusia ini. Aku berjalan mendekat, aku benerin helm-nya yang padahal nggak kenapa-napa itu, aku elap-elap bagian luar helm seolah ada banyak debu di sana—jaga-jaga debu dari cewek-cewek yang pernah pakai ini, kan—, aku tatap matanya dalam-dalam, berusaha banget buat nggak nyengir apalagi ketawa, terus aku bilang, "Hati-hati, ya, Pah." Mata Saki seketika melotot, tapi aku nggak kasih celah sedikit pun karena setelahnya aku mundur dua langkah, terus ngulurin tangan. Entah dia emang lagi blank atau gimana, dia menyodorkan tangannya juga, jadinya aku salim dengan takzim.

Waktu aku lihat dia lagi, dia tertawa pelan banget sambil kulit muka dan daun telinganya merah. Kayaknya dia merasa belum cukup buat cover salah tingkahnya, sekarang dia narik kaca helmnya secara kilat.

Aku mendekat lagi, terus kubuka kaca helm-nya dan menemukan wajahnya yang memerah, kutambahin deh lewat kata-kata lagi. "Jangan nanggung-nangung kalau mau doa baik. Ini juga manifestasi, lho. Lo bukan cuma pacar gue, tapi kita suami-istri. Gimana proses gue mendalami peran?"

Saki terlihat menelan ludah. "Excellent," lirihnya, pelaaaan banget. "Tapi aku masih kecil buat jadi suami nggak sih?"

Aku tak mampu menahan tawa. "Sinting! Siapa juga yang mau nikah di umur 23, Kiiiiiiiii! Manifestasi kaliiiii!"

Dia tertawa pelan, menganggukkan kepalanya.

Kemudian aku kebingungan saat lihat dia melepas helm-nya lagi. "Lho, Ki, ngap—" ucapanku tertahan, begitu juga napasku saat dia mencondongkan badan dan wajahnya buat ngecup jidatku. "Ki?"

"Manifestasi jadi suami yang baik, selalu ngecup kening istri seburu-buru apa pun urusannya di luar."

Aku pingsan dengan tidak menawan aja, ya?

Kayaknya sudah, di dalam pikiranku.

Yang berdiri sekarang ini cuma fisik, arwahku melayang beneran.

Emang jangan pernah main-main sama orang yang kelihatannya pendiam. Dia punya gudang nuklir ilegal di dalam dirinya.

Aku ... minta bantuan Putin aja apa, ya?






---

HAIIIII!

apa kabar? gimana part ini?

chiki balls favoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang