Kata orang, tresno jalaran soko kulino, tapi mau sesering apa pun Geboy mengganti oli hari ini, ia enggak akan jatuh cinta pada merek murahan yang dipilih mahasiswi kampus sebrang--sebut saja Munaroh. Dilihat dari perawakan mesin dan aroma kepulan asap yang memprihatinkan, ia bisa memastikan motor ini hanya masuk bengkel kalau bermasalah saja. Lelaki berkalung handuk kecil itu pun mendengkus, mengusap keringat yang bercampur dengan debu jalanan--nasib latar pinggiran, lalu beranjak memberi tahu sang pemilik kendaraan kalau urusan sudah selesai.
"Kerjamu makin cepet aja, Boy," puji Kang Mus, teknisi senior yang setiap hari request kopi item panas dari warung tetangga, saat mengecek kerjaannya.
"Makasih, Kang."
Dalam hati, Geboy semringah dan pengin bilang, "Ya iyalah, Geboy gitu, lho."
Tapi, enggak jadi. Ia ingat kalau anak buah rekan papanya ini suka adu mekanik kalau bocah SMK sepertinya keseringan sesumbar. Terbukti waktu teman tongkrongannya ikut belajar di sini minggu lalu, satu jam mereka habiskan dengan pamer kelihaian dalam membongkar motor. Mau nimbrung pun percuma, track record Geboy belum sejauh itu. Bisa bermain-main setiap pulang sekolah saja sudah bersyukur. Ia banyak menjumpai berbagai masalah yang dapat dijadikan bekal di lapangan.
"Lanjut kerjain yang itu ya, Boy."
"Masalahnya apa, Kang?"
"Platinanya. Coba lo cek lagi aja."
Lelaki berambut agak gondrong dan sedikit basah itu berdiri lalu menghampiri Vespa 2-tak yang sejak siang nangkring di garasi. Ia meneliti dari bodi depan hingga samping karena merasa mengenalinya. Dari plat, warna, sampai posisi lecet yang ada di dekat setir.
"Lah, ini yang kapan hari masalah di busi nggak, sih, Kang?"
"Ho'oh. Masih inget aja lo. Biasalah. Skuter ginian banyak rewelnya."
"Buset. Keluar-masuk udah kayak banyak modal. Punya lo, ya?"
"Bukan, punya Ayang. Makanya baik-baik pegangnya. Jangan sampai lecet. Entar gue diputusin."
"Iya, deh."
Geboy menghabiskan sebotol zero coke sebelum memperbaiki skuter tawon yang katanya sering overheat sampai mogok berkali-kali. Masalah yang sering terjadi pada vespa klasik itu sudah jadi langganannya, jadi enggak heran kalau ia dipercaya demikian. Geboy memang pernah menunggangi PX 150 saat akhir SMP, tepatnya pas masih amatiran naik motor. Jadi, perawatan beginian lumayan di luar kepala.
Seperti dugaan, kerenggangan platina di motor ini enggak tepat. Geboy pun menyetel ulang jarak konektor minus dan plus sekitar 0,5 milimeter. Harus ideal, tegasnya. Karena kalau kurang, mesinnya bisa mudah batuk. Kalau lebih, percikan apinya enggak bisa bekerja secara maksimal.
"Beres, Kang!"
Lelaki di awal 20-an segera mendekati Geboy dan menepuk pundaknya. "Cepet banget. Emang nggak ada obeng lo, Boy."
"Nggak susah kok, Kang."
"Baguslah. Kerja lo sejauh ini mantep banget. Nggak kalah sama kesayangan bos yang itu tuh … sape, gue lupa. Anak SMK Makmur. Sepupu lo kan, ya?"
Raut muka Geboy berubah drastis. Alis tebalnya sontak mengerut dan ia juga menghela napas kasar. Jangan lagi! Ia menggerutu dalam hati. Tadi pagi ia sudah sarapan laporan nilai semester yang dibandingkan karena selisih 1 angka.
"Randu, Kang."
"Nah, iya. Dia. Si Randu. Itu juga jago banget lho, Boy. Anak Senter juga kan, ya?"
"Iya. Seangkatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asoy Geboy ✔
Teen Fiction[Cartoon Series #1] Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papan...