Hari ini Geboy pulang lebih lambat dari biasanya. Semua gara-gara mendoan panas Abah yang dijadikan barang taruhan gaple. Terlebih lagi tadi seniornya ikut mengimingi bir pletok yang baru dibawa dari kampung. Jelas ia enggak bisa berkutik. Gorengan yang dicocol petis kental dan minuman rempah super-aromatik sangat sayang kalau dilewatkan. Alhasil, azan sudah berbunyi 15 menit lalu, ia baru masuk garasi dan memarkirkan motor.
Saat melepas helm, Geboy menyadari satu hal yang lebih mematikan dari keterlambatan hari ini: mobil Om Pram terparkir rapi di dalam. Kemungkinan cuma ada dua: mobil rumah mogok dan itu hasil meminjam atau memang beliau lagi berkunjung saja seperti biasa. Kalau yang kedua benar terjadi, matilah Geboy karena masih nangkring di luar dan harus melewati ruang tamu. Berbasa-basi bukanlah style-nya, apalagi kalau harus mendengar pidato kebangsaan dari Abi, papanya.
"Persetan, lah."
Geboy mencoba tak acuh, lalu segera masuk rumah. Benar saja, adik dari ibunya itu sedang ngopi santai sambil menghadap berkas yang berserakan. Tentu, makhluk tengil yang terdiri dari gumpalan daging dan seonggok kepintaran level kayangan itu turut serta, seolah mengerti apa yang para orang tua bicarakan. Idih, batin Geboy saat harus menyapa, menyalami, dan menanyakan kabar kerabatnya itu.
"Lho, Boy, baru pulang?" Om Pram tersenyum dan bersikap ramah seperti biasa.
"Iya, Om. Tadi di warung sama anak-anak Senter."
"Oo, kok Randu nggak ikut?" Kini Abi yang bertanya seraya menatap si empunya nama.
Geboy memutar bola matanya malas. Kayaknya mulut papanya itu bisa kering dan rontok kalau enggak melibatkan Randu sekali saja dalam percakapan mereka. Apa spesialnya bocah nerd itu? Gaya rambut terlalu klimis sampai lalat pun bisa kepleset, kawat gigi hitam belum dilepas dari tahun lalu, kacamata kotak enggak banget, dan baju favorit motif kotak-kotak yang dikancing sampai menutupi leher. Sungguh menurunkan pasar anak Teknik Sepeda Motor, bagi Geboy yang amat stereotip kalau berurusan dengan Randu.
"Tadi gabung kok, Om, tapi balik duluan biar bisa belajar. Soalnya Papa bilang mau ngajak ke sini. Takutnya pas pulang udah males terus ketiduran, jadi nyempetin aja."
Hah, Geboy makin mendengkus. Lutut kanannya menekuk dan ia menggaruk pantat berulang kali. Baru juga ditanyakan, sudah muncul satu hal yang enggak bakal related dengan kamus YOLO Geboy. Sekilas ia melirik dan beradu pandang dengan sepupu seumurannya itu, lalu lekas membuang muka. Lama-lama melihatnya cuma bikin mood berantakan.
"Kalau gitu, aku ke atas dulu ya, Om."
"Oh, iya. Istirahat. Jangan lupa makan."
"Makasih, Om."
Geboy berlari-lari kecil menuju lantai dua tanpa menoleh ke arah Abi sama sekali. Ia langsung ke kamar, melempar tas ke kasur, meraih handuk yang tergantung di kapstok, ke kamar mandi, dan mengumpat panjang lebar di balik derasnya keran shower. Playlist dari The Weeknd lumayan jadi teman galaunya malam ini.
Setelah menghabiskan tujuh lagu, Geboy keluar dengan badan dililit handuk. Sayup-sayup ia bisa mendengar perbincangan papanya di bawah yang sangat menggelegar. Sepertinya sengaja agar ia bisa ikut mendengar. Memang unik sekali cara memotivasi ala Bapak Abi yang terhormat ini.
"Boy kemarin juga ikut sih, Ndu. Cuma ya tetep kamu yang dapet."
Salah satu kalimat yang entah sudah berapa kali mampir di telinga Geboy. Ada ratusan macam versi yang sudah ia telan sejak kecil. Papanya itu terlalu sering memamerkan prestasi Randu sampai-sampai Geboy merasa ia adalah korban bayi yang tertukar, seperti sinetron televisi. Tapi, agaknya mustahil kalau dilihat dari betapa mirip tampangnya dengan sang papa. Dari tebal alis, warna dan ketajaman mata, rahang yang tegas, hidung mancung bak prosotan anak TK, sampai sisi samping setara idol Korea pun plek ketiplek kayak foto copy-an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asoy Geboy ✔
Teen Fiction[Cartoon Series #1] Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papan...