¹⁰ lagi pundung 🛵

179 40 9
                                    

Abi mempercepat langkah setelah tiba di UGD rumah sakit dekat bengkel. Ia segera mencari Aco, senior sekaligus mentor putranya yang tadi menghubungi untuk kemari. Raut lelaki paruh baya itu memucat. Keringatnya juga panas-dingin. Ia bahkan lupa cara mengatur napas saat sosok yang dicari masih sendirian, duduk berjongkok di dekat pintu.

"Di mana?" tanya Abi tanpa basa-basi. Dahinya makin berkerut ketika melihat lengan baju Aco dipenuhi bekas darah.

"Om."

Aco segera berdiri. Ia membungkuk kecil, lalu mencium tangan Abi sebagai bentuk sopan santun. Seketika lidahnya kelu dan bingung mau berkata apa, padahal ia tadi sudah menyiapkan mental setelah Abi sempat mengamuk di telepon. Berbagai kosa kata di kepalanya seakan bersembunyi sampai-sampai ia gagap menjawab. Hanya 'ah, eh, anu,' yang keluar dari mulutnya.

"Bang, lo dicari--Papa? Kok bisa di sini?"

Dua lelaki dewasa pun serempak menoleh. Abi sontak terbelalak dengan mulut yang masih menganga ketika Geboy keluar ruangan dengan santai. Ia lekas mengecek tubuh putranya itu, menyentuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Selain perban di pelipis kanan dan bekas infus di pergelangan kiri, sepertinya enggak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

"Kamu nggak apa-apa?"

Geboy menelan ludah. Baru kali ini ia melihat papanya ngos-ngosan seperti itu. Matanya juga merah dan berair, bahkan kedua tangan yang memegangi pundak terasa bergetar. Ia segera mengangguk, lalu menyerahkan resep obat yang diberikan dokter untuk ditebus ke apotek.

"Dijahit dikit," terang Geboy kurang jelas.

Abi mengembuskan napas panjang. Ia lantas berjalan ke arah Aco dan berterima kasih. Setelah itu, ia menyuruhnya untuk pulang lebih dulu. Masalah motor Geboy yang masih di bengkel, biar Kang Mus yang mengurusnya. Enggak lupa Abi meminta maaf karena sudah merepotkan.

"Kamu tunggu di mobil."

Geboy berkedip konstan saat menerima kunci mobil papanya. Ia pun menurut tanpa bertanya dan segera menuju parkiran, sedangkan Aco langsung pamit mencari angkot buat irit ongkos.

Usai menemukan mobil papanya dan duduk dengan nyaman di kursi belakang, Geboy mulai memejamkan mata. Ia ingin mencari tahu apa yang terjadi. Memori siang tadi masih berupa kepingan puzzle baginya. Hal yang ia ingat, ia tiba-tiba merasa pusing ketika berdiri sampai akhirnya oleng dan membentur motor, entah di bagian mana. Lalu saat sadar, ia sudah dikelilingi bau obat-obatan dan petugas medis.

"Boy?"

Sang pemilik nama itu refleks membuka mata saat papanya memanggil. "Iya, Pa."

Abi sudah berada di dalam, tapi belum menyalakan mesin. "Pusing?"

"Aku nggak apa-apa."

"Apa kata dokter?"

"Darah rendah."

"Terus lukanya?"

"Nggak ada kemungkinan gegar otak, tapi kalau ada keluhan bisa langsung periksa."

Sontak Abi mendengkus. Tanpa ada pertanyaan lagi, ia mulai menjalankan mobilnya. Geboy bisa melihat melalui kaca bahwa papanya itu seperti tengah menyesali sesuatu. Memang apa yang ia harapkan? Suatu hal parah terjadi padanya, begitu? Kini ia yang menghela napas.

"Berhenti aja di halte. Aku bisa pulang sendiri. Papa perlu buru-buru ke kantor, kan? Maaf udah bikin khawatir."

"Kalau emang kamu merasa bersalah, seharusnya dari awal hati-hati, Boy. Kamu tahu betapa paniknya Papa tadi? Ternyata kamu nggak kenapa-kenapa."

Papa pasti sedang merugi, batin Geboy pahit. Ia memalingkan muka ke jendela mobil, memandangi gedung berjalan yang mulai tertutupi langit sore. Matanya makin berkaca-kaca saat mendengar, "Kamu terlalu lemah. Papa jadi pesimis lagi."

Asoy Geboy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang