⁵ babak belur 🩹

211 47 0
                                    

Perseteruan Geboy dan Randu bukan hal baru di Geng Senter, tapi ini kali pertama mereka adu pukul di Warung Abah. Komal lekas menyeret sahabatnya menjauh, meski lelaki itu masih terus mencoba mendorong dan menginjak tubuh Randu yang terkapar. Sebenarnya ia enggak kalah babak belur. Sobekan kecil di sudut bibir kanannya masuk ke rentetan daftar (calon) bekas luka di wajah. Tapi, Randu tentu jauh lebih memprihatinkan. Rambutnya kini bercampur pasir dan kerikil karena terlalu lama di bawah. Bahkan kaus oblongnya berubah lusuh dan terdapat jejak Geboy di mana-mana.

Salah seorang senior membantu Randu untuk berdiri. Mereka membawa keduanya ke dalam warung dan langsung didudukkan saat itu juga. Syukurlah ada mantan ketua dua tahun lalu yang singgah dan mendapati peristiwa itu. Kalau enggak, bisa-bisa Geboy memanfaatkan jabatannya untuk abai dan balik tanpa penyelesaian apa-apa.

"Kalau ada masalah, bicara baik-baik. Kita ini keluarga. Jangan malah berantem kayak gini."

Geboy mendengkus. Berbicara tentang itu memang enggak salah. Terlepas dari Geng Senter, secara biologis ia dan Randu berada di garis keturunan yang sama. Tapi, justru makna saudara itu sendiri yang sudah kabur dari pikirannya.

Apa Randu pernah menganggapnya sebagai sepupu? Kayaknya enggak, pikir Geboy. Dari kecil, mereka selalu rebutan mainan, saingan nilai, malah sampai taruhan cewek pas kelas 8 SMP--waktu itu Randu lagi yang menang. Mereka enggak pernah benar-benar akur. Jadi, dari segi mana bisa dikatakan 'saudara'? Justru orang yang benar-benar Geboy anggap keluarga adalah anggota Geng Senter. Mereka yang selama ini melihat eksistensinya, hal yang belum pernah papanya banggakan.

"Jelasin, ada masalah apa?"

Geboy masih menunduk, sedangkan Randu bersandar pada lemari mi instan milik Abah. Mereka saling tatap cukup dalam sebelum memalingkan wajah dan sama-sama mendengkus. Sang senior pun memutar bola matanya lalu mengambil kursi. Ia duduk di depan Geboy dan menepuk pundak lelaki itu.

"Oke kalau kalian nggak mau cerita. Nggak apa-apa. Itu urusan kalian. Tapi sebagai ketua, seharusnya lo merangkul seluruh anggota, Boy. Yang begini nggak seharusnya terjadi, apalagi di depan warga kayak tadi. Nama geng kita bisa rusak. Paham, kan?"

"Iya, Bang. Maaf."

"Gue harap ke depannya lo lebih bisa kontrol diri. Jangan kebiasaan pake kekerasan buat menyelesaikan masalah." Boni pun bangkit. "Lo juga, Ndu."

Randu bergeming. Entah karena pusing, mual, sakit, atau malas menanggapi senior mereka itu, Geboy enggak tahu. Jelasnya, ia lekas meminta maaf tanpa berjanji enggak akan mengulanginya lagi--karena belum tentu si Randu enggak bikin ulah. Kemudian ia mengantar Boni ke depan dan memanggil Komal untuk masuk.

"Gimana? Udah dingin kepala lo?" tanya lelaki itu to the point setelah di dalam. Sekilas ia menengok Randu yang memejamkan mata, lalu menatap Geboy lagi.

"Lumayan. Minta tolong bawa dia ke dokter. Gue mau balik."

"Oke, kalau gitu--"

"Nggak usah sok peduli," potong Randu ketus.

Geboy melirik dan kembali menghela napas. Tenaganya terkuras setelah menghajar Randu habis-habisan. Ditambah mendengar ocehan Boni yang cukup menamparnya makin bikin mood enggak karuan. Ia malas berdebat. Meladeni Randu sama saja bunuh diri karena akan memancing emosi.

Lelaki itu memilih keluar dan menghampiri Abah, juga warga yang menunggu pengerjaan motor mereka. Ia segera membungkuk dan meminta maaf berulang kali atas kegaduhan yang terjadi. Abah terus berkata 'enggak apa-apa' dan memaklumi hal itu. Darah muda, katanya. Selama bisa dilerai dan diselesaikan secara damai, penduduk sekitar sini enggak akan melapor ke mana-mana.

Asoy Geboy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang