⁷ mode gelap 🕶️

211 37 5
                                    

Gemerlap lampu Taman Kreasi menjadi pemandangan lumrah anak-anak Geng Senter pada Selasa malam. Mereka langganan main di sini karena sepi lalu lalang motor. Atau lebih tepatnya, banyak yang sudah hafal jadwal balapan mereka, jadi enggak mau ambil risiko bising, macet, ricuh, atau hal-hal kurang menyenangkan lainnya. Lagi pula, daerah ini merupakan pintasan yang populer saat pagi saja. Selain hari ini pun tetap jarang yang melintas. Katanya, dulu sering ada begal dan agak membentuk trauma. Tapi, kalaupun nanti warga merasa dirugikan, mereka akan dengan senang hati pindah demi kenyamanan bersama.

Seperti biasa, anggota Geng Senter berkumpul di bawah pohon beringin, samping gerbang yang selalu dikunci. Mereka tampak mengenakan jaket kebanggaan yang berlambang gir motor di bagian punggung, serta moto yang ditulis miring tepat di bawahnya. Sudah sekitar sebelas motor terparkir rapi di sebelah pedagang cilok panggilan yang dipesan sebagai teman nongkrong.

Geboy menatap sekeliling lalu mendengkus. Belum rame, keluhnya dalam hati. Ia yang sejak tadi memanasi mesin pun lekas merapatkan ritsleting. Hawa dingin bercampur debu jalanan mulai bertebaran dan bisa memperparah flu kemarin. Daripada diceramahi anggota lain, terutama Komal, lebih baik ia mengantisipasinya lebih dulu.

"Nunggu sampai kapan, Boy?" tanya lelaki bercelana pendek yang mengotak-atik mesin.

"Lima belas menit lagi."

"Oke."

Hari ini agenda mereka adalah mengenalkan lintasan balap pada anak baru. Meski Geng Senter berbasis motor klasik dan fokus kegiatannya lebih ke kreativitas, mereka tetap menjajal dunia lain, termasuk balapan. Tapi, enggak sembarang anggota bisa mengikuti kegiatan ini. Mereka harus memastikan motor yang dipakai dalam kondisi setelan pabrik. Geboy yang memberlakukan peraturan itu karena beberapa alasan. Pertama, dulu pernah ditegur warga akibat knalpot yang dipakai menimbulkan suara melengking dan berisik. Kedua, jaga-jaga adanya kesalahan modifikasi yang berakibat kecelakaan fatal. Ketiga, sayang bahan dan usaha mereka kalau motor yang diotak-atik itu rusak cuma karena main di arena seperti ini.

"Boy, anak geng sebelah ke sini lagi, tuh."

Sang empunya nama itu lekas menoleh, mengikuti arah pandang Komal. Benar saja, ada sekitar lima motor yang mendekat. Lagi dan pasti, mereka mau bernegosiasi seperti minggu sebelumnya. Geboy enggak mau ambil pusing dan memilih menunggu, beda dengan anggota lain yang mulai ketar-ketir. Pasalnya, senior mereka belum ada yang datang dan urusan bakal repot kalau huru-hara 'rebutan track' kembali terjadi.

"Kalian ngapain ke sini?" Geboy melirik sinis saat Bobi, salah satu di antara mereka, menghampirinya dengan santai.

"Chill, dong. Kita cuma mau nanya jam berapa kalian selesai pake tempat ini. Mau gantian."

"Nggak tau. Lo tunggu aja sendiri."

Lelaki yang sempat tersenyum ke arah Randu, teman sekelasnya, itu berdecak dan menyeringai. Ia makin berani dan maju dengan tangan bersedekap. Komal yang mulai panik sontak menelan ludah dan berjaga-jaga di belakang Geboy, bersiap mengunci tangan sahabatnya itu kalau-kalau nanti kelepasan mau adu jotos.

"Tinggal tentuin aja apa susahnya? Gue males kalau harus nonton bebek 90an lomba agustusan. Nggak level."

Geboy mengepal. Ia mengatur napas lalu mendengkus. Tepukan Komal pada pundaknya seakan menghipnotis untuk enggak terprovokasi. Ia pun refleks mengangguk. Memang benar, meladeni bocah kaya pencinta motor gede seperti mereka cuma buang-buang waktu.

"Mending lo balik aja. Kalau kita udah beres biar Randu yang ngasih kabar."

"Kok gue?"

"Dia temen lo."

Asoy Geboy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang