Geboy menatap dirinya di cermin. Dasi yang agak mencekik leher pun lekas dilonggarkan. Ia juga mengangkat atasan yang terselip rapi di balik sabuk. Cuma sedikit. Seenggaknya, tampilan kini enggak cupu-cupu amat dan bisa dipadukan dengan jaket Geng Senter. Hari ini, ia mau flexing. Sekali-sekali bangga dengan pin ketua yang bertengger di kerah kanan.
Sejak ditelepon Pram dua hari lalu, ia memutuskan pulang dan berhenti kabur-kaburan. Walaupun berakhir di-PHP sebab om dan sepupunya enggak jadi mampir, Geboy tetap balik ke rumah dan cukup tahu diri. Berlama-lama di tempat sahabatnya hanya akan menjadi beban baru. Komal memang enggak pernah mengeluh, tapi rasa sungkan itu perlu.
Dari situ sampai sekarang pula, Geboy belum berbicara dengan papanya. Setiap Abi muncul di ruang tamu, meja makan, dapur, bahkan garasi sekalipun, ia selalu berbalik arah menghindar. Lelaki itu lebih memilih menunggu sendiri dulu, baru cabut entah ke mana. Tyas yang melihat orang rumah bak kucing-kucingan itu hanya geleng-geleng. Kemarin, ia sempat berpesan pada putranya untuk berdamai dan mengajak bicara lebih dulu, tapi apa yang Geboy perbuat sampai harus 'meminta maaf'? Ia enggak pernah meminta papanya buat mengurus apa pun, kecuali biaya belajar tambahan.
"Boy! Sarapan, yuk!"
Lamunan Geboy terhenti. Ia baru sadar tengah menuruni anak tangga dengan tatapan kosong. Untung saja enggak terjadi apa-apa. Ia segera menepuk pipi, menggeleng, dan membenahi headband yang agak merosot. Tanpa mau repot-repot belok ke dapur, lelaki itu melambaikan tangan dan berteriak 'berangkat dulu' pada mamanya.
"Boy!"
Sang pemilik nama terus berjalan menuju garasi, enggak peduli mau seberapa kencang mamanya memanggil. Tyas tampak tergopoh-gopoh memberikan kotak bekal berisi nasi, oseng tempe, terong balado, dan keripik kentang. Enggak lupa sebotol air mineral dan vitamin penambah darah yang salah kaprah--pasalnya Geboy hipotensi, bukan anemia. Wanita itu segera mengatur napas saat berhasil mengadang CB Geboy yang hendak melaju.
"Bawa ini!"
"Ya udah, masukin tas."
Tyas tersenyum saat Geboy enggak menolak masakan itu. Ia lekas menata sedemikian rupa agar enggak mengotori buku paket di dalam. Dalam hitungan detik, semua selesai.
Geboy pun mendengkus, lalu mencium kening mamanya sekilas. "Makasih, Ma. Aku berangkat dulu. Nanti pulang lambat. Mau ke bengkel sama Bang Aco."
"Kalau gitu entar makannya Mama titip ke Kang Mus aja, ya?"
"Nggak usah. Bisa pesen lewat ojol."
"Ck, fast food lagi. Enggak, deh. Kamu baru sembuh, Mama ngeri kalau sakit lagi."
"Nggak, Ma. Nggak usah parno. Udah, aku berangkat!"
"Tapi--"
Geboy segera menutup kaca helmnya dan menjalankan motor. Sedikit kejam memang, mengingat mamanya belum selesai bicara. Tapi, kadang Geboy ingin mereka mendengar pendapatnya dulu, dan menghargai keputusan yang diambil juga.
Lelaki itu terus ke sekolah dan mengikuti pelajaran tanpa halangan apa pun. Malah, sesekali ia mau meladeni Komal dan seribu pernyataannya tentang siswi SMK sebelah, grand opening cabang salon favoritnya, sampai majalah otomotif keluaran terbaru. Hitung-hitung pengalihan isu biar enggak melulu senewen dengan LKS, Randu, dan papanya.
"Lo jadi ikut nggak entar?" tanya Geboy setelah guru matematika keluar kelas.
"Sori, hari ini ada jadwal nge-date. Gue baru inget. Untung tadi alarmnya bunyi."
"Yang mana lagi?"
"Ada, lah. Kenal di game. Gue belum pernah ketemu sebelumnya."
"Sarap! Giliran pensiun pake dating apps, lo sekarang cari cewek dari Mobile Legend? Di luar perkiraan BMKG lo, njir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asoy Geboy ✔
Teen Fiction[Cartoon Series #1] Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papan...