³ makan oli 🛢️

204 38 2
                                    

Jarang-jarang lab praktik hening seperti sekarang. Biasanya, selain saat sepi, tempat itu pasti bising karena ulah anak TSM yang mengotak-atik mesin dan bahan bongkaran lain. Meski cuma dua orang sekalipun, enggak semestinya suara knalpot dari jalan raya lebih mendominasi ruangan ini. Geboy sendiri juga heran, kenapa gurunya lama sekali memeriksa pekerjaannya? Apakah ada yang salah? Bagian mana? Kenapa?

Lelaki yang mengenakan seragam jurusan itu lantas mengusap keningnya menggunakan handuk kecil, lupa kalau ia baru saja mengelap jok motor dengan itu. Alhasil, kini separuh mukanya cemong dan makin lusuh. Perpaduan yang pas dengan keringat yang masih mengucur di sana-sini. Ia belum tahu apa-apa karena enggak ada kaca di sana--kecuali spion. Geboy hanya mendengkus lalu menelan ludah, mulai lelah dengan ketelitian Pak Bonang hari ini.

"Bagus sih, Boy, tapi nggak rapi."

"Apanya, Pak?"

"Hasilnya."

Ya ngerti, batin Geboy. Ia sontak memutar bola matanya malas. Hal yang perlu dibahas adalah detail letak yang mesti dibenahi, bukan sekadar garis besar yang poinnya saja enggak jelas di mana. Kalau begitu, bagaimana ia bisa memperbaiki dengan benar? Heran. Kadang rambut botak lelaki tua itu enggak jadi justifikasi kalau ia super-jenius dan bisa diandalkan.

"Lihat, ini masih kendor. Kamu buru-buru banget ngerjainnya, jadi nggak maksimal. Bisa mati anak orang kalau servisan motor mereka kayak gini."

"Maaf, Pak. Lain kali saya akan lebih teliti."

"Nggak cuma teliti, Boy, tapi telaten. Udah beberapa kali Bapak lihat kamu macam dikejar setan. Pelan-pelan aja. Toh, ini masih latihan."

Geboy menunduk. Memang titisan setan, sih, yang selalu membayanginya. (re: Randu)

"Iya, Pak. Kalau gitu, saya ulangi dulu."

"Nggak. Nggak usah. Kamu istirahat aja sana. Ngopi-ngopi atau makan gorengan di kantin. Kalau udah mendingan baru boleh pegang alat. Fokusmu dari tadi lari-larian, Bapak nggak mau buang-buang waktu nungguin kerjaan orang yang nggak fit pikirannya."

"Makasih, Pak. Maaf sekali lagi."

Guru pembimbing itu mengangguk kecil, lalu mengusir Geboy dari sana. Anak itu pun menurut. Mau tetap di sana bakal sia-sia karena apa yang dikatakan Pak Bonang ada benarnya. Selain lelah--mengingat hampir dua jam ia mengurung diri di lab--Geboy juga lapar. Dari pagi, hanya sepotong roti dengan selai melon yang ia makan. Agaknya mendoan panas plus siraman bumbu kacang bisa mengobati kekacauan ini. Harapannya.

Usai mencuci muka di wastafel, Geboy menuju kantin sekolah, tepatnya di kedai paling ujung yang jadi langganan anak jurusan Teknik Sepeda Motor. Ia duduk di deretan bangku Komal dkk tanpa salam, kemudian berteriak 'kayak biasa' ke Mak Tun yang baru saja menaruh dua gelas es teh ke sebelah.

"Kepleh ya, Le?"

"Iya, Mak. Sama es jeruk juga, ya."

"Oke, siap."

Geboy tersenyum lima detik. Raut mukanya lekas kembali menekuk. Ia bahkan enggak sadar membenturkan wajah di meja berkali-kali sambil menggumamkan kata yang entah apa bunyinya. Komal pun refleks geleng-geleng, lalu mengambil es batu dari gelas--dengan cara diobok--dan meletakkan itu di tengkuk Geboy.

"Ngadem dulu."

"Yang panas otaknya, Mal."

"Oo, gue kira hati lo."

Geboy seketika bangkit. "Nggak."

"Lo kenapa? Dateng-dateng tampang kayak pantat panci abis dikerok. Diapain lo sama Pak Bonang?"

Asoy Geboy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang