²¹ kabar baik 🥛

231 33 12
                                    

Cahaya yang masuk melalui gorden sangat menusuk mata. Bayangan hitam kehijauan lagi-lagi menjadi halangan dalam mengedarkan pandangan. Tapi, kali ini Geboy enggak mau kalah. Punggungnya terasa begitu kaku sampai susah bergerak. Bagian belakang kepala hingga pundaknya juga berat dan nyut-nyutan. Ia ingin bangun, meregangkan otot, lalu enyah jauh-jauh dari sini--yang ia sendiri belum tahu ada di mana. Lelaki itu pun menghela napas dan mencoba menutupi area muka. Sontak dahinya berkerut saat mendapati selang infus di tangan kirinya.

"Boy? Ya Tuhan, syukurlah kamu sudah bangun."

Ma ….

Geboy menurunkan tangannya. Ia lantas menyentuh area leher, tapi lama sekali. Pergerakannya seperti siput lagi lomba lari. Ia refleks menelan ludah. Suaranya enggak terdengar. Entah hilang, habis, atau sedang digadaikan. Mungkin karena tenggorokannya yang kering bak padang pasir. Mau berkali-kali dibasahi dengan air liur pun enggak akan ngefek.

"Mama panggilin dokter dulu, ya."

Tyas tampak berkaca-kaca. Matanya sayu dan berkantung hitam. Rambut juga acak-acakan dengan baju enggak disetrika. Geboy makin mengerutkan kening. Apa yang terjadi pada wanita itu? Bukan, apa yang terjadi padanya?

"Anjir, Boy! Hidup juga lo akhirnya!"

Komal ternyata tidur di sofa. Lelaki itu tiba-tiba memeluk Geboy setelah Tyas membangunkannya--untuk menjaga sebentar. Ia enggak kalah bahagia dan hampir menangis. Sosok yang terkapar layaknya mumi kini benar-benar kembali. Ia segera merogoh ponsel dan membuat panggilan grup guna memberi tahu kabar baik ini. Geboy yang melihat itu masih berkedip linglung, mencerna situasi sambil mengingat-ingat.

"Welcome back, Boy!"

Bang Aco? Ah, iya. Alis Geboy bertautan. Ia sadar telah kehilangan seniornya itu.

Argh!

"Eh, eh, lo kenapa?"

Komal segera mematikan telepon dan menjauh dari ranjang Geboy saat sahabatnya memegangi kepala. Ia membiarkan dokter dan perawat mendekat, lalu keluar bersama Tyas. Mereka menunggu dengan sabar sampai proses pemeriksaan selesai. Syukurlah, dokter mengatakan Geboy sudah siuman, meski belum bisa banyak bergerak dan berbicara. Tyas lekas berterima kasih dan segera mengirim pesan pada Abi. Komal juga turut membungkuk kemudian masuk ruang rawat lagi.

Geboy saling pandang dengan sahabatnya. Memori terakhir yang ia ingat adalah segerombolan warga yang berniat menolong, tapi hanya menatapnya seakan ia barang rapuh yang kalau disentuh bisa berserakan. Lelaki itu juga sudah cukup sadar untuk mengecek tanggal di kalender dinding. Ia sudah melewatkan banyak hal.

"Mau minum?" tawar Komal. Ia sudah tenang--enggak hiperaktif kayak tadi--dan duduk di kursi kecil samping laci.

Geboy pun mengangguk dan bertanya lirih, "Anak gue gimana?"

Peka, Komal mendekatkan telinganya ke bibir Geboy. "Oh, motor? Aman kok, di bengkel Kang Mus."

Geboy bernapas lega, meski detik berikutnya tampak murung lagi. Terlebih saat kesusahan menggerakkan kedua kaki, yang ternyata masih di-gips. Raut wajahnya berubah mendung. Debar jantung makin enggak karuan juga. Jangan-jangan, jangan-jangan, hanya itu yang ada di benaknya.

"Bentar lagi dilepas, kok. Lo nggak usah khawatir. Tapi setelah ini lo mesti terapi jalan. Gue temenin. Oke?"

Komal mengarahkan sedotan plastik pada Geboy. Ia menjelaskan sesantai mungkin, berharap yang bersangkutan enggak syok dan memperparah keadaan. Untung Geboy realistis dan enggak dramatis. Namanya juga musibah, mau bagaimana? Dibanding takut enggak bisa jalan, ada hal penting lain yang lebih menyeramkan, yaitu:

Asoy Geboy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang