⁸ anak Mama 🐣

209 36 3
                                    

Sebenarnya, saat Geboy menyebutkan bayaran dan tawaran ini-itu pada Aco, ia enggak berniat serius sedikit pun. Kemarin cuma mengarang bebas, hasil praktik pelajaran bahasa Indonesia, yang ternyata lumayan meyakinkan dan berhasil menghasut target. Agak berlebihan memang, tapi yang penting sudah ada deal di antara mereka. Sekarang masalahnya adalah mewujudkan iming-iming bullshit itu menjadi kenyataan. Sayang, Geboy masih maju-mundur di garasi karena dua perkara: papanya di rumah jadi bisa segera membahas itu, tapi di sisi lain ia belum menyiapkan apa yang harus disampaikan.

Tadi di sekolah Geboy sudah melakukan simulasi dengan Komal. Tapi percuma, ia gugup lagi. Sensasinya berbeda. Percayalah. Ia kini menggigiti kuku sambil menatap lantai, memilah susunan kata yang tepat agar papanya enggak menyinggung Randu, meremehkannya, atau yang lebih parah menolak permintaan itu secara mentah-mentah. Bisa gawat kalau nanti demikian.

"Kamu ngapain? Bukannya masuk, malah diem di situ."

Geboy terperanjat. Ia sontak berdiri dari motornya dan menoleh. Anak itu juga refleks merapikan seragam dan rambutnya yang agak berantakan karena sempat nyebat di Warung Abah sebelum pulang. Ia pun menelan ludah dan memperhatikan papanya dari bawah sampai atas.

"Ini mau masuk kok, Pa."

"Ya udah cepat. Mau hujan."

"I-iya."

Abi masuk lebih dulu, disusul Geboy setelah selesai menyimpan helm dan menata motor. Ia bisa langsung bergegas ke kamar buat ganti pakaian atau mandi sekalian. Tapi, anak itu justru berhenti di ruang tamu karena papanya tampak santai membaca koran sambil meminum kopi di sofa. Biasanya momen seperti ini sangat pas untuk membahas hal penting. Lelaki berumur 40an itu enggak akan (jarang) marah kalau diusik.

"Pa, aku mau minta sesuatu." Geboy bertanya lirih. Ia sama sekali belum mendekat--masih di dekat ambang pintu.

"Apa? Bodi baru? Knalpot? Stang? Atau alatmu ada yang rusak?"

"Bukan."

Tampak kikuk, gugup, dan takut, Abi lantas berhenti membaca dan menghadap anaknya. Ia meminta Geboy untuk duduk hanya dengan tatapan dan perubahan arah matanya dari depan ke samping. Sosok yang bersangkutan lekas menurut dan refleks memijat tengkuk. Ia juga berdeham dan mengedarkan pandangan, seolah menghindari eksistensi papanya.

"Ada apa? Bilang aja. Gurumu cari masalah? Uang jajanmu diporotin? Atau kenapa?"

Geboy garuk-garuk kepala. "Enggak, kok. Aku cuma mau bilang kalau kemarin hire mentor buat persiapan lomba nanti."

"Mentor? Siapa? Dari tempat les mana?"

"Bang Aco, anaknya Om Dedi. Papa ingat?"

"Oh, dia. Kenapa nggak cari di luar?"

"Aku lebih nyaman sama anak Geng Senter, lagu pula Bang Aco pemenang tahun lalu. Kurikulum kita nggak jauh beda dan dia masih ingat detailnya kayak apa."

"Oh, gitu. Terus?"

"Kita latihan mulai minggu ini. Aku telanjur bilang kalau dia bakal dapat fee dan kalau Papa mau, Papa bisa rekrut Bang Aco ke bengkel."

Abi manggut-manggut. Ia enggak menyela dan mendengarkan Geboy dengan sangat saksama.

"Papa suka kamu punya gebrakan mandiri kayak gini. Menang dari Randu emang perlu usaha lebih."

Dia lagi, Geboy mendengkus. Kaki yang sedari tadi gemetaran sontak berhenti, diganti kepalan tangan yang menahan gemuruh dalam perut. Seketika ia juga menunduk dan memejamkan mata, bersiap mendengar kalimat-kalimat Abi selanjutnya.

"Papa juga nggak keberatan kalau harus keluar uang buat support peningkatan skill-mu."

Kepala Geboy kembali naik. "Jadi, Papa setuju?"

Asoy Geboy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang