chaos ¹⁴

730 87 33
                                    

Suasana sekolah di pagi hari sudah sangat ramai. Para siswa dan siswi mengerubuni beberapa mading dengan berbagai ekpresi, tidak percaya, jijik, benci, menghakimi dan lainnya. Keributan pun bertambah saat si pemilik wajah di mading datang dengan senyum manis tanpa tau apa yang tengah terjadi.

'Dasar ngga tau diri!'

'Si miskin ini emang muka dua!'

'Penjilat!'

'Mentang-mentang orangtuanya donatur tetap, dia se-enaknya.'

Masih banyak makian yang terlontar dan kerumunan yang semakin ricuh membuat para guru harus turun tangan.

"Bubar semuanya! Kembali ke kelas masing-masing! Reina dan Helia, ikut ibu ke ruang rapat sekarang juga."

Kedua remaja yang tengah linglung akan situasi itu menuruti suruhan sang guru.

"Wah gila, gue speechless."

Ke-empat remaja yang sedari tadi hanya menjadi pengamat di ujung lorong, tidak bisa menutupi rasa terkejut--mungkin hanya tiga remaja.

"Ayo ke kelas."

"Wait, lo ngga penasaran mereka di ruang rapat lagi ngomongin apa?" Tanya Fay masih dengan raut tak percaya.

Keyna sang pengajak berdecak lelah akan tingkah temannya yang kadar keingin tauannya terlalu tinggi.

"Nanti lo juga dapet info dari Ms Devi." Saut Keyna yang kini sudah berjalan pelan, diikuti ketiga temannya.

"Iya sih, tapi-- ck, udah lah." Pasrah Fay saat ketiga temannya tidak ada yang antusias membahas kecurangan Helia serta Reina.

"Gue ngga nyangka mereka main curang, walaupun semua kecurangan di awalin sama ms Fera, Helia Rein juga terima itu dengan tangan terbuka. Kalau dari awal kebongkar, gue pasti bisa ikut lomba."

Curahan lirih Sila itu membuat ketiga temannya menipiskan bibir. Takut salah bicara jika membalas perkataan Sila yang tengah dibuat sakit hati akan fakta yang ada.

"Sekarang kan udah kebongkar, lo tenang aja, karma itu pasti datang dengan cepat. Anggap aja lo lagi dilindungi sama Tuhan, karena bukan lo yang ada di posisi Reina ataupun Helia." Ucap Keyna menenangkan Sila.

Berita Helia serta Reina yang bermain curang atas semua lomba membuat seisi sekolah menggeram kesal. Pasalnya, setiap lomba yang akan diikuti sekolah selalu saja Helia dan Reina yang lulus seleksi. Usut punya usut, keduanya bermain curang, sekongkol dengan ms Fera--guru yang selalu menyeleksi murid untuk maju ke lomba.

Banyak murid yang tidak bisa mengikuti lomba, mereka pikir Helia dan Reina memang lah sangat pintar hingga tidak bisa mereka tandingi. Ternyata mereka dibohongi selama ini.

"Keyna betul! Kemungkinan lo buat ikut lomba jadi besar." Ucap Fay yang ikut menenangkan Sila. "Iya kan, Aya?"

"Hah? Apa?"

"Yeu, bengong aja sih lo." Decak Fay saat temannya tidak menyimak pembicaraan sedari tadi.

"Pusing kepala gue." Sanggah Ayara dengan kernyitan sakit.

"Bilang dong dari tadi! Ayo ke uks."

Keyna menatap Ayara dengan khawatir. Ia segera berjalan lebih dulu untuk meminta jalan pada murid-murid yang masih berkerumun di lorong.


🐾🐾🐾


Suara tangis yang terdengar sangat menyakitkan menggema di lorong gudang penyimpanan alat sekolah. Raungan frustrasi membuat siapa pun yang mendengar akan merasa iba.

"Helia, tenang hei."

Suara tangis yang tidak kunjung berhenti, kini teredam di dada bidang seorang pria.

"S-sakit, Jevin hiks-- aku takut hiks..."

"Iya, sshtt. Tenang dulu ya, udahan nangisnya biar aku bisa tau kamu kenapa."

Mendengar penuturan lembut Jevin, membuat tangisan Helia berangsur berhenti, walau masih bisa terdengar napas terseguk karena terlalu lama menangis.

"Aku udah bisa dengerin cerita kamu?" Tanya Jevin setelah menuntun Helia untuk duduk di bangku yang sudah tidak terpakai.

Helia mengangguk, tanda menyanggupi pertanyaan Jevin. Wanita itu menarik napas panjang, dengan tangan terkepal mulai bercerita.

"Beasiswa aku dicabut." Lirih, hingga hampir tidak terdengar oleh Jevin.

"Karena kejadian di mading?" Tanya Jevin tanpa nada.

Helia mengangguk samar, menghapus air matanya yang turun lagi dengan kasar.

"Jevin... Aku-- kecurangan itu aku ngga mau terlibat, awalnya. Tapi, miss Fera terus terusan kasih aku tawaran. Aku tau aku salah, karena menikmati semua prosesnya dengan mudah, tanpa mikir murid lain pun banyak yang mau ikut setiap lomba. Tapi, aku ngga bisa berhenti...."

Genggaman pada tangan Jevin tidak pernah Helia lepas, kini pun semakin dieratkannya. "...aku di sini juga pihak yang dirugiin, Jevin. Aku hiks-- ngga bersalah sepenuhnya."

Jevin diam tanpa membalas apapun lagi ucapan Helia. Pria itu terus menatap setiap gerik Helia yang gemetar ketakutan.

"Jevin, ini ngga adil buat aku, ngga adil sama sekali." Helia menggeleng frustrasi dengan air mata kembali menderai. "Aku di sini korban. Aku cuma korban."

"Kamu tau itu salah, tapi kamu masih tetap lanjut dan nikmatin semuanya. Padahal ada opsi di mana kamu bisa nolak dengan tegas tanpa tergiur dengan tawaran Miss Fera." Jevin akhirnya angkat bicara setelah lima menit diam tanpa memotong ucapan Helja.

"Bahkan masalah penting kayak gini aja kamu ngga cerita ke aku. Dua tahun lebih loh, kamu nutupin semuanya dari aku." Jevin menepuk pelan pelipisnya dengan rasa frustrasi.

"Maaf, aku takut kamu benci aku." Helia menunduk dalam dengan jemari yang saling tertaut erat.

"Tawaran apa yang dia kasih sampe kamu tergiur?" Tanya Jevin dengan tatapan mengintimidasi.

"Uang." Jawab Helia dengan sangat pelan.

Soal uang bagi Helia memang sangat sensitif, jadi sebisa mungkin Jevin menanggapi dengan hati-hati. "Aku udah pernah bilang sama kamu. Apapun yang kamu butuhin, termasuk uang, kamu bisa minta ke aku. Kita udah bicarain hal sensitif ini berkali-kali."

Jevin menghela pelan, mencoba mencari tau apa yang harus ia lakukan untuk Helia sekarang ini.

"Soal beasiswa, kamu ngga usah khawatir. Sebentar lagi kita lulus, nanti biar aku yang bayar sisa uang sekolahnya." Ucap Jevin menenangkan, jemarinya mengusap lelehan air mata yang kembali turun membasahi pipi gembil Helia.

"Pelakunya?" Tanya Helia yang samar masih sangat kesal.

"Nanti kita cari tau sama-sama."

Keheningan melanda setelahnya. Kedua remaja itu sibuk dengan pikiran masing-masing, mengabaikan bahwa lima belas menit lagi bell istirahat akan segera berakhir.

"Jevin."

Pekikan yang cukup mengejutkan, memaksa Jevin untuk menatap Helia sepenuhnya.

"Aku tau pelakunya!" Ucap Helia dengan membara. "Keyna! Itu pasti ulah dia."

"Kemarin kita sepakat buat mancing kejahatan dia dan bikin dia kesel, dengan kamu ajak ke rumah. Itu semua pasti ulah Keyna." Ucap Helia dengan penuh sarat akan kebencian.

Jevin mengernyit atas tuduhan Helia. "Tujuan kita emang buat mancing Keyna. Tapi, masa secepet ini? Lagi pula, dari mana dia tau kecurangan kamu?" Ucap Jevin pada dirinya sendiri. "Dari kemarin dia sama aku terus." Sangkalnya dengan denial.

"Dia bisa ngelakuin apapun yang dia mau, Jevin. Dia punya kekuasaan!" Ucap Helia dengan kesal.

Jevin menghela pelan, rambutnya diusak dengan rasa frustrasi. "Nanti kita cari tau lagi. Sekarang masuk ke kelas, sebentar lagi bell."

〃―

Kira² siapa ya pelakunya 🤔

HoloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang